Ekonom BCA, David Sumual, memperkirakan Bank Indonesia akan mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate pada level 7,5 persen hingga akhir tahun ini. Seperti yang dikutip dari harian Tempo, David mengatakan bahwa, BI Rate dipertahankan karena ekspektasi inflasi masih sesuai dengan perkiraan, yakni pada kisaran 4,5 +- 1 persen, sedangkan Indonesia masih menghadapi persoalan defisit neraca transaksi berjalan. Dengan kondisi tersebut, Â kebijakan moneter ketat oleh Bank Indonesia masih bisa dibaca akan berlanjut hingga akhir tahun.
Di sisi lain, David melihat ada ketidakpastian kondisi ekonomi baik di dalam negeri maupun secara global. Hal ini juga menjadi alasan bagi Bank Indonesia untuk mempertahankan suku bunga di level yang cukup tinggi. Dua hal yang menyebabkan ketidakpastian adalah tarik-ulur subsidi bahan bakar minyak dan ketidakjelasan waktu kenaikan suku bunga Amerika Serikat. Hal ini adalah faktor eksternal paling kuat yang memicu ketidakpastian ekonomi negara berkembang
Ternyata hingga Oktober 2014 ini, suku bunga acuan ini tidak berubah, hal ini menjadi bulan ke-12 bagi Bank Indonesia untuk mempertahankan BI Rate di angka 7,5 persen. Salah satunya soal kebijakan defisit anggaran, menurut Cost Theory, karena adanya defisit anggaran ini, maka pemerintah seringkali memacu ekonomi untuk melejitkan inflasi, yang kemudian diredam dengan penerapan suku bunga tinggi, maka munculah, "Kebijakan menjaga anggaran berimbang," yang dilakukan oleh pemerintah saat ini.
Namun permasalahanya dunia itu sudah bergeser, dengan adanya globalisasi, tentu saja arus keluar-masuk modal menjadi sangat mudah. Dalam situasi ini justru dibutuhkan stimulus ekonomi untuk merangsang masuknya modal asing atau swasta untuk berinvestasi di dalam negeri. Ini dibutuhkan untuk menggerakkan perekonomian, yang pada akhirnya menetes kepada si miskin.
Padahal ditengah situasi seperti ini, tidak setiap teori ekonomi di negara maju itu bisa diterapkan mentah-mentah di negara berkembang, lihat saja masalah inflasi, seringkali dinyatakan inflasi harus diredam untuk menolong si miskin agar tidak tercekik kenaikan harga barang-barang. Tetapi dalam kenyataannya ini tidak berlaku di negara-negara berkembang seperti Indonesia ini, kebijakan ekonomi ketat atau suku bunga BI tinggi yang diberlakukan memang meredam inflasi, tapi juga memukul drastis pendapatan si miskin, dan hasilnya pun sudah tentu terbalik. Padahal yang seharusnya lebih diwaspadai itu adalah sektor riil, penulis pribadi tidak khawatir kalau rupiah sampai diangka Rp 14.000-, per USD, tetapi kalau ratusan ribu orang tidak lagi bekerja, dan UMKM banyak yang mati karena kebijakan ekonomi ketat ini. tentu saja bisa menjadi awal malapetaka.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, saat ini jumlah pengusaha kecil menengah di Indonesia mencapai 56 juta. Sektor ini juga menjadi salah satu penyerap tenaga kerja yang cukup besar, yaitu sekitar 100 juta orang. Data ini menunjukkan bahwa ada potensi besar UKM sebagai penggerak ekonomi masyarakat menengah-kebawah.
Tetapi ketika suku bunga BI masih saja tinggi, sementara ini suku bunga kredit perbankan Indonesia posisi Agustus 2014 berada pada kisaran 11,25%-13.30% untuk korporasi dan 16%-23% untuk kredit mikro. (sumber : statistik perbankan untuk data posisi Agustus 2014), yang akan dibarengi dengan wacana kenaikan BBM, yang tentu saja selanjutnya akan diikuti oleh kenaikan harga komoditas bahan baku. Tentu saja UMKM akan semakin kerepotan, karena hal itu akan menambah cost produksi mereka, yang selanjutnya akan memaksa mereka untuk memutar otak  bagaimana agar bisa bertahan dan konsumen dapat membeli produk mereka walaupun keuntungan semakin tipis, dan mungkin saja UMKM tersebut akan gulung tikar.
Sementara di sisi lain, ketika BI rate masih tinggi, pelaku usaha kita masih saja 'diganggu' oleh ribetnya birokrasi pemerintah dan infrastruktur ekonomi yang tidak effisien sehingga memakan cost yang besar, seperti masalah transportasi, pungli, ketersediaan listrik dan air, kurangnya penyuluhan, dll. Sebenarnya meskipun saat ini sedang diberlakukan kebijakan ekonomi ketat (tingginya suku bunga BI), paling tidak kalau biaya ekonomi rendah, UKM tentu saja masih punya option alternatif, karena yang penting bagi pelaku usaha atau pebisnis itu adalah bagaimana cara menekan cost produksi serendah mungkin. Jadi semisal contohnya kalau biaya pungli bisa ditekan sampai 50%, atau bahkan dihilangkan, biarpun kebijakan moneter indonesia menuntut suku bunga BI naik 20% pun, penulis rasa UKM masih bisa untuk 'menelanya'.
Dari keadaan tersebut, terlihat sekali bagaimana pil pahit yang harus ditelan oleh para pelaku usaha kita, padahal UKM di ekonomi manapun diseluruh penjuru dunia itu jasanya sangat besar. Daya serap pengangguran yang tinggi dan juga memastikan distribusi kekayaan yang lebih merata, lebih tahan banting kalau ekonomi kena krisis, karena corporate besar cenderung sensitif dan mudah roboh. Oleh karena itu sudah seharusnya pemerintah Indonesia lebih memperhatikan lagisektor UKM ini, karena mereka adalah salah satu pilar utama ketahanan ekonomi nasional.
Dalam permasalahan ini, perlu sekali ada perubahan kebijakan yang sangat mendasar untuk membenahi sektor riil yang ada kaitannya dengan sektor finansial, supaya kedepanya menaikkan atau menurunkan BI rate tidak menjadi 'buah simalakama' terus, supaya saat BI rate naik kredit tidak pada macet dan ketika BI rate turun, rupiah tidak di pakai spekulasi yang selanjutnya akan membuat biaya konten impor sektor rill jadi melambung, apa BI tidak capek bolak-balik jalan di tempat dan 'hanya' jadi 'pemadam kebakaran' terus-menerus ?
Adanya defisit anggaran serta melemahnya nilai rupiah itu terjadi karena ekonomi indonesia masih dikategorikan sebagai resources-based economy, sama seperti negara-negara lain yang mata uangnya terimbas oleh USD juga, seperti Russia dan Australia. Jadi pengetatan ekonomi moneter (suku bunga BI) tentunya harus dikaji lagi secara mendalam ketepatanya. Sebenarnya garis otoritas pengelolaan ekonomi di dalam konstitusi kita itu sudah jelas. Pemerintah mengeluarkan kebijakan ekonomi riil - membantu dunia bisnis, pada esensi-nya dan juga melaksanakan kebijakan fiskal. Sedangkan bagian moneter, itu urusan BI. Tapi seperti yang terjadi saat ini, Â yang kelihatan bekerja hanya BI, sedangkan pemerintah malah cenderung untuk banyak mengeluarkan aturan daripada membantu.
Untuk jangka panjang kedepanya, ekonomi negara haruslah di-diversifikasi seluas-luasnya, sehingga apabila satu sektor terserang musibah, yang lain bisa mengkompensasi. Memperbaiki kehidupan berpolitik dan bermasyarakat kita, benahi infrastruktur, membersihkan KKN , serta membangun negara berbasis hukum yang adil dan kuat. Inilah sebenarnya aset-aset intangible negara yang penting, sebuah tanda dari peradaban yang unggul. Sehingga Kedepanya kita sudah tidak perlu lagi menjadikan kenaikan suku bunga BI sebagai satu-satunya alternatif.
Satu aset negara Indonesia yang jangan sampai lupa kita lupakan, kita adalah negara berpopulasi besar dan duduk diatas bumi yang kaya raya akan benda-benda alam yang berharga. Jadi akan sangatlah ironis sekali jika dengan potensi kekuatan ekonomi kita yang sangat besar ini, kita masih miskin dan berpikiran sempit.
Bukankah kata Bung Karno itu, kita (bangsa Indonesia) diharapkan bisa menggoyangkan langit, menggempakan darat, dan menggelorakan samudera, agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari, bangsa yang mau untuk bekerja keras serta mandiri (berwirausaha), bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli, dan bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita. Lantas kenapa pemerintah seakan-akan tidak memberi jalan yang lebar bagi para wirausahawan kecil tersebut ?
Dhita A
6 Oktober 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H