[caption caption="Trafo IBT1 dalam perbaikan (sumber dokumen pribadi)"][/caption]Tim pemulihan PT PLN (Persero) bekerja penuh selama 4x24 jam menangani krisis listrik pasca terbakarnya trafo berkapasitas besar atau interbus transformer (IBT) berkapasitas 500 KiloVolt (KV) di gardu induk isolasi gas atau Gas Insulated Substation (GIS) di Kembangan, Jakarta Barat pada 2 September 2015 lalu. Pemulihan dilakukan segera setelah suhu minyak oli pada trafo mendingin. Empat hari kemudian atau 6 September 2015, upaya pemulihan berakhir sukses dan listrik mengalir kembali.
Terbakarnya IBT tersebut membuat sebagian wilayah jakarta bagian barat harus mengalami pemadaman listrik hampir 5 jam dan PLN berupaya melakukan perbaikan terus-menerus agar pasokan listrik di Jakarta tetap terjaga. Walaupun selama 1 minggu sebagian wilayah harus dipadamkan secara bergiliran,.PLN tetap berupaya maksimal melayani pelanggannya.
Suyatna selaku Manajer Area Pelayanan Penyaluran (APP) Duri Kosambi PLN Penyaluran dan Pusat Pengatur Beban (P3B) Jawa Bali sebagai pemegang kendali komando, terjun langsung ke lapangan dan memantau regu pemeliharaan dari APP Cawang, APP Pulogadung dan APP Duri Kosambi dalam kegiatan pemulihan itu siang-malam. Beberapa tahapan pengujian dilakukan oleh tim pemulihan atau recovery. Febri sebagai penanggung jawab lapangan dan pengawas di GIS Kembangan harus selalu berada di lokasi.
Sementara pihak kepolisian juga ikut melakukan investigasi. Berusaha tetap fokus pada proses pemulihan membuat Febri harus siaga 24 jam, yang artinya dia harus tetap berada di kantor selama proses ini berlangsung, tidak pulang, beristirahat seadanya, meninggalkan istri dan anaknya di rumah demi melayani kebutuhan listrik masyarakat dan PLN.
[caption caption="siang malam tetap bekerja demi PLN nyala"]
Fevri sebagai pihak yang bertanggungjawab atau person in charge harus selalu siap dengan data dan hasil uji yang mesti dibuat setiap 30 menit. “Sudah risiko, mbak,” ujarnya pagi itu saat saya menyapanya ketika sedang menuju lokasi trafo. Senyumnya masih tulus walau matanya tampak lelah karena satu minggu kurang tidur. Baju yang dikenakannya pun masih lusuh bercampur oli.
Ponselnya berdering dan kemudian ia jawab. “Assalamualaikum umi, abi masih di gardu belum bisa pulang,” ucapnya di ponsel. Saya berpikir mungkin itu istrinya, Fevri memberi isyarat agar saya agak menjauh demi privasi. Dan saya mengerti.
“Aduh mbak, anak saya sakit demam tadi malam sampai pagi ini,” ujar Fevri usai mengakhiri pembicaraannya di telepon dengan istrinya. Wajahnya berubah sedih, matanya berkaca-kaca karena tidak dapat menutupi kesedihannya. Saya pun hanya bisa berkata, “Sabar ya as Fevri.”
Saya menawarkannya pulang untuk menengok kesehatan putri semata wayangnya yang sedang sakit itu. Namun Febri menolak. Dia berujar, “Insya Allah istri saya yang akan mengurus dan Allah akan menjaga.” Subhanallah, terharu saya mendengarnya.
Fevri tetap melanjutkan tugasnya, mengecek suhu trafo dengan alat kamera pengukur suhu trafo atau thermovisi, mencatat dan membandingkan dengan laporan sebelumnya. Dia terus menyusuri tiap trafo yang berjumlah 6 buah yang ada di sekitar gardu induk, kemudian memanggil sebagian stafnya untuk melakukan rapat singat pagi karena yang sebagian lagi masih bekerja di lokasi terbakarnya trafo. Saya yang ikut mendampingi sejak pasca kejadian ikut merasakan betapa sulitnya pekerjaan yang mereka lakukan.
Pantang Pulang Sebelum Nyala menjadi motto para petugas PLN garda terdepan penjaga gardu induk yang menjadi pintu gerbang kelistrikan sebelum sampai ke masyarakat. Sosok muda seperti Fevri yang begitu sederhana, bertanggungjawab dan bersahaja, adalah contoh bekerja tanpa lelah untuk dedikasinya kepada keluarga dan PLN sebagai tempatnya mencari nafkah. Sungguh Luar biasa. (dhi).