Mohon tunggu...
Dhini Rezky Lestari
Dhini Rezky Lestari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa S1 Ilmu Gizi

Saya merupakan mahasiswa tingkat 3 yang mengambil bidang ilmu kesehatan dengan spesifikasi di bidang ilmu gizi. Selama menjadi mahasiswa, saya juga aktif pada organisasi mahasiswa yang berfokus pada bidang keilmuan dan penalaran ilmiah. Saya juga pernah mengikuti kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dengan mengambil skim pengabdian masyarakat. Pada kegiatan tersebut saya mengimplementasikan ilmu yang telah saya peroleh dari dunia kuliah seputar ilmu gizi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Revolusi Pangan 3D Bio-Printed Food: Apakah Menjadi Inovasi Gizi Atau Hanya Sekadar Gimmick Teknologi?

18 September 2024   19:23 Diperbarui: 18 September 2024   20:08 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Teknologi dalam bidang pangan sebagai sebuah revolusi yakni inovasi 3D Bio-Printed Food tengah menarik perhatian dunia saat ini. Teknologi dalam inovasi penciptaan pangan ini memungkinkan pembuatan bahan pangan dengan bentuk yang rumit, dengan memperkaya kandungan nutrisi yang dipersonalisasi. Terlebih lagi dalam beberapa tahun ke depan, jumlah populasi manusia di muka bumi semakin meningkat, yang menandakan jumlah kebutuhan akan bahan pangan pun ikut meningkat. Inovasi ini dapat dianggap mampu memberikan supply pangan yang cukup di masa depan. Meskipun inovasi ini terkesan menjanjikan dalam dunia pangan dan gizi, namun banyak yang meragukan potensi jangka panjangnya. Daya penerimaan konsumen bisa saja menjadi kelemahan dari inovasi ini, dengan menimbulkan pertanyaan besar mengenai apakah inovasi 3D Bio-Printed Food ini dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah gizi global masa kini hingga berlanjut ke masa depan ataukah hanya sekadar tren teknologi yang terbatas pada niche market dengan konsumen yang memiliki preferensi tertentu dalam dunia kuliner.

Saat ini tren hidup sehat dengan menjaga pola makan dan jenis makanan yang dikonsumsi kian meningkat. Masyarakat mulai cenderung memilih real food (makanan alami) untuk konsumsi sehari-hari dan berupaya mengurangi konsumsi ultra-processed food. Hasil analisis dan prediksi oleh para periset dalam ajang Big Conversation pada Tahun 2022 di Jakarta mengngkapkan bahwa sekitar 65% konsumen lebih memilih makanan yang dianggap alami dan menghindari makanan yang diproses lama. Melihat kondisi tersebut, masyarakat cenderung merasa ragu untuk mengonsumsi makanan hasil industri yang diproduksi menggunakan mesin, terlebih presepsi terhadap makanan tersebut tidak organik. Bahkan di negara-negara maju pun inovasi makanan yang diproses secara digital dianggap sebagai hal yang tak lazim apabila dibandingkan dengan makanan organik yang segara dan alami.

Meskipun inovasi 3D Bio-Printed Food ini menawarkan aspek personalisasi gizi, namun aspek keamanan pangan dan efektifitas zat gizi yang difortifikasi dalam proses pembuatannya masih menjadi kontroversi. Mekanisme dalam proses pencetakan tentu saja melibatkan suhu yang tinggi agar hasil cetakan dapat terbentuk. Hal tersebut tentu saja dapat menurunkan kualitas kandungan gizi tertentu yang difortifilasi atau yang terkandung lagsung dalam bahan yang digunakan untuk mencetak pangan tersebut.

Selain itu salah satu hal yang menjadi kontra terbesar terhadap inovasi ini karena dapat mendorong kemungkinan tergantung pada makanan oalahan yang bertentangan dengan tren pola hodup sehat berbasis konsumsi real food. Hal tersebut dikarenakan mesin pencetakan bahan pangan menggunakan bahan-bahan yang telah diolah sebelumnya atau melalui ekayasa genetika, yang berpotensi terkandung zat tambahan lainnya sehingga tidak sepenuhnya organik. Sehingga dikhawatirkan masyarakat semakin jauh dari makanan berbasis real food dan cenderung bergantung pada makanan cetak yang melalui proses pengolahan yang lama. Oleh karena itu, meskipun inovasi ini diklaim memberikan nutrisi yang dipersonalisasi, namun efektifitas kandungan nutrisinya memerlukan pengujian dalam tujuan memenuhi asupan gizi dan meningkatkan kesehatan konsumen.

Salah satu klaim utama dalam inovasi 3D Bio-Printed Food ini adalah mampu mengurangi limbah makanan dan mendukung eco-sustainable sehingga terkesan eco-friendly. Namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Bahan baku yang digunakan pada proses pencatakan melibatkan pengolahan yang memakan energi dan sumber daya yang cukup besar. Sehingga apabila dalam proses produksinya tidak menggunakan energi terbarukan, maka teknologi ini dapat memperburuk masalah lingkungan yang ada.

Secara keseluruhan, mesikipun inovasi 3D Bio-Printed Food ini menawarkan potensi dalam inovasi pangan dan solusi gizi yang dipersonalisasi, teknologi ini dapat menghadapi banyak hambatan yang cukup signifikan. Ada banyak faktor yang dapat menyebakan teknologi ini dapat menjadi preferensi baru yang diandalkan sebagai solusi untuk permasalah pangan dan gizi. Teknologi ini akan cenderung menjadi inovasi niche market dalam sektor kuliner bagi kalangan kelas atas daripada menjadi sebuah inovasi revolusioner dalam memperbaiki masalah gizi masyarakat umum. Sehingga perlu adanya pertimbangan dan riset mendalam secara realistis untuk dapat mewujudkan inovasi ini benar-benar dapat diterapkan secara efektif dan efisien.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun