Sudah lebih dari sebulan, aku belum menulis lagi di Kompasiana. Bukan karena malas tapi karena kurang semangat aja (eh, sama aja yah?)
Beberapa hari yang lalu, aku membaca salah satu artikel di Kompasiana mengenai aksi premanisme pengamen di metro Mini 610. Sebagai pengguna angkutan umum, memang situasi tersebut sangat mengkhawatirkan apalagi ditambah sudah maksa berbicara, "mengatai" dengan nama-nama hewan. Dongkol sudah pasti tapi yasudahlah, cuma bisa mengelus dada sambil istighfar.
Apakah semua pengamen pemaksa?
Tergantung posisi kita di daerah mana dan tergantung kita naik bis yang berbentuk seperti apa. Kalau aku naik bis sedang di daerah Blok M memang pengamennya rata-rata sangar-sangar bin ajaib, tapi kalau di daerah Lebak Bulus-Cilandak Trakindo, rata-rata pengamennya tidak sesangar itu, malah didominasi oleh anak kecil. kalaupun orang dewasa, mereka masih bisa masuk ke dalam kategori sopan. Lalu kalau dari daerah Slipi, ini kombinasi, ada yang sangar ada pula yang biasa aja.
Selain pengamen, apalagi sih yang biasanya kita temui di kendaraan umum?
Pencopet.
Oh yeah, dengar kata ini aku jadi ingat kejadian saat aku berangkat kerja di daerah Rawamangun. Kendaraan umum yang kunaiki adalah bis AC jurusan Poris-Pulo Gadung. Biasanya dan berdasarkan pengakuan para penumpang yang sudah lama naik bis ini, bisa dikatakan bis ini paling aman karena ga pernah ada pengamen dan pemcopet. Mungkin karena posisi penumpang yang berdiri dibuat seaman mungkin membuat pencopet kehilangan "nafsu". Ditambah keneknya yang super sangar tapi baik hati kepada penumpang.
[caption id="attachment_222202" align="aligncenter" width="300" caption="Pencopet. Sumber: darwinarya.wordpress.com"][/caption]
Pagi itu, setelah menunggu kurang lebih 5 menit di jembatan susu Bendera, Pasar Rebo, bis yang biasa membawaku menuju daerah kantor pun datang. Penumpang lain yang memiliki tujuan yang sama denganku pun sangat antusias sekali untuk naik bis yang satu ini. Ga ada yang berubah dari rutinitas naik bis di pagi hari. Setelah semua penumpang masuk dan menyesuaikan dirinya (mencari posisi Pewe), dan kebetulan aku mendapatkan duduk di kursi 3 paling belakang. Sedang duduk tenang dan mulai lihat-lihat keadaan sekitar, keributan itu pun dimulai.
Kenek bis saat aku naik sedang duduk santai di belakang tiba-tiba berdiri maju dan memegang kerah pria berkulit hitam, kurus, berambut keriting, menggunakan baju batik hitam putih yang berdiri persis di disampingku tapi menghadap ke pintu, sambil berkata setengah teriak, "mau ngapain loe disini?"
Sontak aku kaget dan langsung melihat kenek tersebut yang sudah memasang muka gahar bin sangar (lebih sangar dari pencopetnya). Sang tertuduh itu pun berkata dan tidak kalah teriaknya, "Apaan bang? Gue ga ngapa-ngapain".