Suatu hari, saya berkendara melewati sebuah perempatan di pusat kota. Cuaca sedang panas-panasnya dan lampu merah menyala. Saya mengarahkan pandangan ke sekeliling, Langkah tergesa pejalan yang berusaha menghindari matahari, merapat ke dekat  naungan toko di tepian jalan. Pegawai yang hilir mudik membawa pernik dan peralatan tokonya. Lalu seorang nenek yang tengah duduk bersimpuh depan sebuah toko, di hadapannya teronggok dua buah rinjing* bambu berisi  buah-buahan.  Saya mengamati lebih jeli, mangga dan sawo. Nampaknya dagangan beliau belum banyak terjual. Rinjing bambu itu masih penuh.
Perasaan iba menghampiri saya, ingin rasanya menepi untuk membeli barang satu dua buah padanya. Menyerahkan sejumlah uang dan menolak diberi kembalian. Tapi toh itu hanya di pikiran. Saya tepat di tengah jalan raya, masih ada kendaraan lain yang memisahkan kami. Dan ketika tangan saya bergerak mengarahkan stir ke samping, berusaha mencari cara untuk menepi. Lampu hijau menyala, klakson berbunyi beriringan. Saya urungkan niat itu, menarik gas melaju membelah kota. Dalam hati, saya berjanji? akan menemuinya lagi. Memanjatkan doa supaya niat saya terwujud dan doa untuk nenek itu semoga ia pulang dengan rinjing kosong dan dompet penuh. Tapi harapan itu tak pernah terkabul. Berkali-kali saya melewati perempatan yang sama dan nenek dengan rinjing buah itu tak pernah saya temui lagi.
Ket:
Rinjing : Wadah yang terbuat dari anyaman bambu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H