Mata itu menyelinap masuk menerobos putaran waktu. Berjalan menapaki tiap-tiap sudut ruangan yang telah membuih. Sesekali tapaknya berhenti - di ruang tamu, di kamar mandi, di kamar peraduan ayah ibu, kemudian kembali ke ruang tamu.Â
Mata itu milik seorang laki-laki, pencipta sekaligus pemilik kenangan di rumah itu sebelum benar-benar ditinggalkan oleh penghuninya.
Mata sipit kepunyaan bujang berkulit kelam itu berbinar tajam meraut-meraut. Barang tentu bujang sahaya tersebut belum lupa, ketika para tentara itu membentak dengan garang dan memaki ibunya. Mencari bapak!Â
Entah apa yang diperbuat bapak sehingga dicari-cari tentara. Si bujang hanya tahu, ibu selalu menangis semalam suntuk setiap kali para penenteng senjata itu datang. Ibu seperti terkantuk belati yang sangat tajam, tepat di jantung hatinya yang paling dalam.
"Malam kala itu".... "kala itu....,"
Sambil menghela nafas panjangnya, bujang itu berusaha membagi sepotong cerita pada seorang gadis yang sedang menunggunya, beberapa langkah dari teras rumah, di bawah pohon jambu, dengan angin malam sepoi-sepoi yang diberisiki nyanyian kodok. Â
"kala itu." pelan-pelan si bujang mulai melanjutkan laman berikutnya.
Seakan-akan bujang itu kembali pada sebuah masa, saat dirinya masih menjadi seorang bocah ingusan yang baru di wisuda di taman kanak-kanak.
Semua orang tampak riang gembira ketika cahaya purnama menerangi dusun bubukan, sebuh desa di selatan Jawa yang belum teraliri lisrik. Di sini purnama selalu ditunggu dan dirindu. Sinarnya yang terang benderang tak hanya menerangi desa yang gulita, tapi juga menerangi orang deso punya jiwa dan pikiran.
Ibu baru saja selesai mengaji. Qur'an surah ke-55 di hatamkannya empat kali. Ibu kalau mengaji sangat merdu, indah betul. Walau ibu bukan seorang qoriah atau ustadzah, tetapi ibu sering dipangil ke rumah-rumah penduduk untuk mengajari ngaji. Si bocah bujang kecil ingusan itupun tak ketinggalan selalu mengintilinya. Tak jarang ketika sudah mulai jenuh atau merasa kantuk, bocah itu menarik-narik rambut ibunya, merengek minta segera pulang.
Angin yang bersibak dari bukit pelangi di belakang rumah melengkapi suasana asri kampung kecil penghasil padi ini. Hampir semua penduduk merupakan petani dan buruh tani. Namanya juga bocah yang masih ingusan, kadang ia sering keliru dalam mengenali nama beberapa penduduk, sebab di sini para penduduk desa mempunyai perawakan tak jauh berbeda; berkulit kelam, kurus kerontang, tak berpendidikan, komunal dan sangat kolot.