Alina percayalah. Senja ini bukanlah senja yang pernah dipotong sukab. Di sini tidak ada lokan batu yang berwarna-warni. Bias cahaya gemerlap yang berkeretap pada buih impian, seperti dikatakan sukab. Hanya ada pasir basah menjilati hangat dan harum rerimbunan rindu yang mulai bersekutu dengan waktu.Â
Saat itulah aku berlomba dengannya. Ketat bersaing untuk mendapatkan senja terindah yang keemas-emasan. Kemerah-merahan itu.
Bukan alina. Ini bukan senja yang diberikan sukab -- si penipu ulung yang mencuri senja paling indah yang pernah ada di dunia kita. Ini beda sama sekali alina. Bukan jua senja keramat yang banyak diburu orang, atau senja sialan yang kehadirannya tidak pernah diharap manusia sejagat raya.Â
***
Di sebuah lorong gelap. Pada lembah yang tak pernah disinari purnama. Pada malam yang selalu hadir tanpa gemintang yang melata-lata. Waktu rupanya telah tersesat pada jalannya. Memutar. Entah kemana.
Di sinilah semua dimulai, alina. Senja itu tiba-tiba mengeluarkan magic-nya. Mengubah belentara menjadi terang benderang. Pepohonan saling mengeluarkan sinar. Akar yang tertanam jauh di dalam tanah pun berubah menjadi petunjuk jalan. Senja telah bocor alina.
***Â
Alina yang manis. Alina yang sendu.
Meski ini bukan senja persembahan sukab. Tapi akan kuceritakan bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.Â
Suatu hari kupacu motorku menuju ke arah selatan. Melintasi beberapa sungai, membelah beberapa hutan. Bukit-bukit temaram yang terjal dan berliku. Di antaranya juga ada yang berwarna warni, bak minion pelangi yang sedang menari-nari.
Hingga sampai disebuah pantai yang basah, dengan bau laut dan pasir putih yang khas. Kulihat matahari, langit, udara, dan sekeliling sedang mesra-mesranya merajut cinta dalam cakrawala yang begitu mega. Ombak mengiringi syair alam yang terus melantun. Tunas-tunas dan bunga bertumbuh bebas. Pada sepenggal sore. Di tepi pantai, di tepi semesta, di tepi senja.