Mohon tunggu...
Dhimas Kaliwattu
Dhimas Kaliwattu Mohon Tunggu... Penulis - seorang manusia

menjaga ingatan dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memahami Anies Baswedan dalam Pelegalan Becak

23 Januari 2018   14:03 Diperbarui: 23 Januari 2018   21:14 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Anies Baswedan yang banyak beredar di sosial media

Memahami ide Anies Baswedan dalam kebijakannya melegalkan kembali becak sebagai alat transportasi di Jakarta harus dilihat lebih dari sekedar kebijakan biasa. Ide ini patut diapresiasi, karena memang pada kenyataannya transportasi tenaga manusia itu ada di Jakarta. Jikalau sejak 1988 dilarang, mengapa sampai hari ini becak masih beroperasi.

Statement Anies yang mengatakan "kalau dibilang tidak boleh, tapi faktanya ada" merupakan pesan sindiran atas ketidaktegasan perangkat pemerintahan sebelumnya. Secara khusus Pemerintahan yang dimaksud adalah Jokowi-Ahok, yang pernah melakukan kontrak politik serupa dengan Anis-Sandi. Wajar jika kini Anies menendang bola kearah Jokowi dengan bilang "saya mewujudkan janji kampanye Jokowi". 

Wacana tentang pelegalan becak menjadi sangat hangat dan menuai pro kontra di masyarakat. Prof. Jimly Asshiddiqie menyebutnya sebagai"kemunduran dua abad buat Jakarta". Secara logika memang seperti itu.

Jakarta sebagai kota telah berubah sangat cepat. Di bawah tahun 90-an tansportasi becak, bemo, oplet, dan bus PPD mungkin masih berjaya. Tapi hari ini, di mana kita bisa menemukan Bus PPD ? mungkin sudah tidak ada. Pertanyaannya, mengapa becak masih ada?

Dalam era teknologi seperti sekarang, penyedia layanan transportasi kian berlomba menawarkan moda transportasi yang cepat, mudah, murah, fleksibel dan effesien. Becak tidak akan mendapat tempatnya kembali, meski dibuatkan rute khusus. Pelegalan becak hanya akan sia-sia. Tapi kita memahami tugas pemerintah adalah mengatur, melindungi dan memberi kesempatan seluas-luasnya pada semua orang untuk mendapatkan rezeki. Sepakat dengan niat baik Anies, bahwa pemerintah tidak selalu harus berpihak pada kapitalis kakap produsen kendaraan semata yang selama ini menjadi gurita dalam kemacetan jalan. Dasar kemanusiaan inilah yang kiranya patut kita apresiasi bersama, meskipun berkamuflase politik.

Anies "Wong Cilik"

Becak merupakan simbol masyarakat bawah. Anies ingin memperlihatkan bahwa dirinya sangat memperhatikan masyarakat bawah. Untuk itu ia harus memproduksi kebijakan yang menarik simpati khalayak.

Anies membuat garis tegas akan hal ini. Dari mulai kasus reklamasi, tanah abang, penghapusan larangan melintas sepdeah motor di Sudirman-Thamrin, dan sekarang masalah becak. Keberpihakannya merangkul rakyat kecil merupakan politik identitas yang sedang dibangun. Meskipun sebagian orang melihatnya sebatas "seolah-olah" seperti itu. 

Anies menjadi politisi yang kian penting diperhitungkan dalam catur politik nasional. Jika mau, ia bisa saja menjatuhkan image sebuah partai besar yang lekat dengan jargon "wong cilik". 

Anies memang disiapkan untuk mengulangi akrobat politik Jokowi saat memimpin Jakarta dulu. Dua tahun rasanya sudah cukup memupuk modal kepercayaan diri Jokowi untuk maju sebagai calon presiden kemarin. Hal ini pun pasti telah dihitung betul oleh para pendukungnya Anies.

Tapi Anies bukan Jokowi yang mampu menyuguhkan suatu seni pertunjukan politik yang segar pada masyarakat lintas kelas. Anies pun tak bisa mengkondisikan media massa seperti yang dilakukan Jokowi kemarin. Tetapi politik bersifat abstrak. Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang bisa meramal politik di 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun