Mohon tunggu...
dillah chrysalis
dillah chrysalis Mohon Tunggu... -

Lebih baik menjadi orang yang pintar merasa, dari pada menjadi orang yang merasa pintar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dilema Cinta

3 Oktober 2013   09:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:04 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“ apa lagi yang kau fikirkan Raya? Bukankah kau yang pernah mengatakan padaku, tak ada gunanya mempertahankan pria brengsek untuk dijadikan kekasih saat aku terus membela Nico yang telah tidur bersama teman sekantornya dan aku membiarkan dia terus menyakitiku” kata Rara dengan tegas nyaris tanpa jeda saat aku menangis dikamarnya.

“ tapi Davi bukan pria brengsek Rara, dia pria yang baik. Bukankah kau melihat perubahannya satu tahun lalu “ kataku terus membela Davi

“ apa??? “ katanya kaget melihat kearahku dari pantulan cermin yang ada di hadapannya. “dengan semua yang dia lakukan selama ini dan kau masih berani mengatakan Davi pria yang baik? “ katanya semakin marah, aku hanya diam menikmati tangisku yang bisa kutahan. Dia membalikan tubuhnya dan menoleh kearahku. Aku bisa merasakan tatapan tajamnya itu. “ sudahlah Raya, untuk apa kau mengangisi Davi yang sudah menyakitimu, pria yang pernah mambatmu terpuruk dan aku tak ingin melihat hal itu lagi. Dan bukankah kau habagia dengan adanya Bastian sekarang.“ kata Rara lagi setelah banyak pertanyaannya yang selalu aku jawab dengan diam. Namun dengan nada yang lebih lembut dari sebelumnya. Rara mendekatiku yang duduk diatas ranjangnya seraya memeluk bonekaku yang ada dikamar Rara. menyentuh bahuku dengan lembut seakan ingin menenangkanku “ kemana Raya yang tegar dulu, yang selalu berani memarahi Nico saat dia menyakitiku? “ sambung Rara lagi. Tangisku semakin pecah, tak menyangka aku bisa selemah ini. Aku memeluk Rara dan menangis didalamnya. Menumpahkan semua yang aku rasakan pada Rara. menjadikan Rara sebagai sandaranku. Ya aku sangat membutuhkan Rara untuk menjadi sandaranku. Aku merasa seperti manusia yang tak lagi bisa berdiri dengan kakiku sendiri. Padahal dulu aku yang selalu menjadi sandaran Rara sahabatku ini, tapi apa yang terjadi sekarang malah jauh sebaliknya dan ini sangat menyedihkan. Saat ketegaran yang kupunya lenyap karna seorang pria bernama Davi . . .

###

Semua berawal satu tahun lalu. Aku bertemu Davi saat menemani Rara dalam kesedihannya di sebuah café tempatku menghabiskan waktu setelah jenuh menjalani kegiatan harianku di kota Jakarta yang selalu sesak oleh padatnya penduduk Jakarta. Aku melihat Davi dan kedua temannya menyanyikan lagu. Ya Davi memang musisi café. Julukan bad boy yang melekat padanya membuatku tertarik pada Davi. Dan siapa yang menyangka ketertarikanku dibalas olehnya. Davi mendekatiku dan aku berhasil menbuatnya lebih baik. Aku bangga pada diriku yang berhasil membuat Davi menjadi pria yang lebih baik. Tak sedikit wanita langganan café yang tertarik pada Davi itu iri padaku. Hal itu membuatku yakin bahwa Davi mencintaiku. Terlalu percaya diri memang, tapi itulah aku. Wanita yang ceria dan penuh percaya diri. Itu pula yang membuat Davi tertarik mencintaiku.

Suatu hari Davi membawaku kesebuah café dan membuat suasana café menjadi sangat romantis, sedikit terkejut. Aku tak menyangka dia bisa melakukan hal itu. Karna aku akui dengan jelas bahwa Davi adalah pria yang sangat-sangat cuek. Dan keterkejutanku mencapai puncaknya saat Davi menyatakan perasaannya padaku. Aku tak akan terkejut saat dia menyatakannya, karna semua itu sudah terprediksikan olehku. Yang membuatku terkejut saat dia menyatakannya dengan melakukan hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Hal yang tak pernah ketahui ini milik siapa.

Kami berdansa di bawah lampu sorot yang tertuju padaku dan Davi, Sepertinya Davi sudah mengatur ini semua. Jarak antara Davi dan aku tak bisa di ukur dengan kaki atau inci sekalipun. Hingga aku bisa merasakan aroma maskulin pada tubuhnya. Merasakan hembusan hangat nafasnya. Juga bisa merasakan detak jantungnya yang berdetak tak kalah cepat dengan jantungku.

“ Raya . . .” katanya setelah keheningan menghantui fikiran kami. Tatapan matanya terlihat sangat tajam.

“ ya “ kataku dengan tatapan yang tak kalah tajam, tapi aku tak yakin bisa menang dari tatapan itu. Davi semakin mendekatkan wajahnya padaku. Membuatku semakin gugup. Aku memejamkan mataku perlahan saat tak lagi bisa membalas tatapan tajamnya. Tak mengerti apa yang terjadi saat aku merasakan manisnya cappuccino menjalar di bibir dan indra pengecapku. Saat aku membuka mata, aku melihat Davi tepat di depan wajahku memejamkan matanya, tangan kekarnya di lingkarkan pada pinggangku, dan bibirnya menyentuh bibirku. Davi mengecup bibirku dengan lembut. Aku kembali memejamkan mata menikmati moment indah ini. Membiarkan Davi mencuri ciuman pertamaku.

“ aku mencintaimu Raya Valentina Putri “ bisiknya ditelingku saat kami kembali kealam sadar dan meninggalkan dilema dalam hatiku. Aku memberi senyum terindahku untuknya.

Enam bulan setelah malam itu dan aku menjadi kekasih Davi, tak ada perubahan buruk padaku dan Davi. Hanya saja dia semakin kreatif satiap memberikan kejutan-kejutan manis yang romantis untukku. Aku yang semakin mecintainya dan berharap hubungan yang lebih serius darinya. Meski aku tak pernah mengatakan hal itu.

Namun semua kebahagiaan itu hilang dan menciptakan kelemahan yang semakin tampak jelas padaku. Davi menghilang entah kemana. Tak ada jejak yang tertinggal darinya. Saat aku menemukan jejak langkahnya, kesedihan semakin membunuhku. Karna jejak itu hanya akan menemukanku pada jalan buntu. Berhari-hari aku mengurung diri didalam kamar. Rara selalu setia menemani dan mengikuti kemana kakiku melangkah.

Satu bulan kemudian Davi datang dengan banyak alasan mengapa ia pergi begitu saja. Kembali bersikap sebagai pria yang mencintai kekasihnya. Aku memintanya mengenalkanku pada orang tuanya yang berada di Bandung dan Davi mengatakan akan mengabulkan permintaanku itu. Davi bilang dia akan melakukan apa saja untuk ku. Aku tentu senang mendengarnya. Aku berharap banyak pada pertemuanku dan kedua orang tuanya hari minggu ini. Setidaknya ini menjadi bukti keseriusan Davi pada hubungan ini. Wanita mana yang tidak senang jika ada keseriusan dari kekasihnya untuk melanjutkan hubungan itu. Akupun membuang semua prasangka buruk tentang Davi saat menghilangnya satu bulan yang lalu.

Hari mingu yang aku tunggu pun datang. Aku sudah mempersiapkan semuanya di bantu Rara yang sudah lebih dulu merasakan kegugupan ini dengan kekasihnya Fandi. Aku tinggal menunggu Davi yang datang menjemput. Davi berjanji akan menjemputku pukul delapan pagi, tapi sayang hingga pukul delapan malam tak ada tanda Davi akan datang. Aku hanya diam menghadap jendela tanpa melepas gaun yang aku kenakan. Dan Davi pun kembali menghilang.

Tepat dua bulan setelah menghilangnya Davi  dan aku mengunci rapat-rapat hatiku. Tak ada yang bisa membukanya dan aku tak mau memberikan kunci itu pada siapapun. Aku membiarkan nama Davi terkurung didalamnya. Aku tak pernah menghiraukan berapa banyak pria yang Rara kenalkan padaku dan berharap bisa menyembuhkan hatiku.

Hingga suatu hari aku bertemu dengan pria yang aneh menurutku. Dia terlalu percaya diri, riang, ramah, tampan dan mempunyai jiwa humor yang sulit untuk dilepaskan darinya. Bastian namanya. Aku tetap berusaha menjaga hatiku untuk Davi seorang. Namun siapa yang mengetahui pada siapa hati ini berlabuh.

“ sudahlah Bastian, untuk apa kau terus mengambil gambarku? Bukankah studio fotomu sudah terlalu sesak dengan semua gambarku yang kau curi? “ kataku padanya saat kami menikmati keindahan matahari sore di pantai yang tak terlalu ramai. Ini pertama kalinya aku kemari. Aku tak tau ada pantai yang indah seperti ini. Bastian yang menunjukan tempat ini padaku. Dia terus memainkan cameranya kearahku yang sedang berjalan menyusuri bibir pantai dan menikmati permainkan ombak-ombak kecil dikakiku yang tak beralaskan apapun. Dia  tak menghiraukan kata-kataku. “Bastian “ kataku menghentikan langkahku dan menoleh kearah Bastian. Dia menurunkan cameranya.

“ apa? “ tanyanya basa-basi, aku menatapnya tajam. “ Raya, mengapa kau tak pernah menyadari itu?” tanyanya lagi. Aku mengerutkan keningku tak mengerti.

“ apa maksudmu? Menyadari apa? “aku balik bertanya padanya.

“ menyadari keindahan yang ada pada dirimu” aku terkejut

“ hah, lalu apa kaitannya dengan gambarku? “ tanyaku lagi. Aku benar-benar seperti wanita bodoh dan polos. Bastain tertawa membuatku menunjukan mimik cemberutku. Tawanya semakin pecah. Selalu begitu, dia akan tertawa saat aku cemberut. Menurutnya aku seperti anak SD yang kehilangan permen dan merajut manja pada ibunya. “ apa yang lucu? “ kataku ketus

“ kau lucu sekali Raya, jelas saja ada kaitannya dengan semua gambarmu.” Ia menghentikan kalimatnya dan memasang tampang serius yang baru pernah aku lihat. Menatap kearahku dan berkata “ terlalu banyak keindahan pada dirimu dan aku tak akan rela melewatkan satu keindahan saja, “ aku terdiam mendengar pengakuannya. “ kenapa diam? “ tanyanya membuyarkan lamunanku.

“ kau juga lucu Bastian, kata-katamu barusan seperti sedang merayu kekasihmu saja” kataku tertawa kecil menutupi kegugupan ini. Bastian menatapku dengan wajah herannya. “ apa? “ tanyaku meneruskan langkah meninggalkan Bastian.

“ kau memang kekasihku Raya, dan aku sedang tidak merayu. aku hanya mengungkapkan kejujuran” katanya menjelaskan wajah herannya tadi. Kakiku terasa berat untuk melangkah dan menjauh dari Bastian. Kekasih katanya? Dan apa ini?? Aku merasakan getaran itu lagi. Getaran yang selalu kurasakan saat Davi ada di dekatku. Otakku langsung berfikir keras. Apa aku pernah tanpa sengaja memberi kunci itu pada Bastian. Kunci yang membuat nama Davi tetap ada di dalamnya. Tapi sekarang bukan hanya nama Davi yang ada di sana, ada nama Bastian Pratama juga. Bastian telah mencuri kunci itu. “ hey, kenapa kau sering melamun hari ini? “ Tanya Bastian. Aku terkejut melihat Bastian berada dihadapanku, menaruh tangannya di kedua pipiku. Ya tuhan, tolong hentikan tangan lembut ini dari pipiku, sebelum ia benar-benar melihat pipiku yang sepertinya sudah berubah warna menjadi merona merah.

“ aku tak apa.” kataku kembali melangkahkan kakiku

“ Raya, mengapa wajahmu menjadi merah? “ Tanya Bastian dengan senyum jahilnya, namun aku tetap diam. “ jika kau tetap diam, itu artinya kau mengakui apa yang kukatakan tadi.” Sambungnya membuatku tertarik untuk bicara.

“ perkataan apa? “

“ kau memang kekasihku.”

“ apa yang membuatmu mengambil kesimpulan itu? “

“ karna aku mencintaimu Raya” aku terdiam lagi dan lagi

“ benarkah? Aku tak pernah tau itu”

“ baiklah akan aku beritahu.” Katanya mengambil posisi dihadapanku. “ Raya Valentina Putri, aku sangat mencintaimu…” teriak Bastian membuat perhatian beberapa orang yang ada disana tertuju padaku. “ bagaimana? “ tanyanya.

“ apa aku punya pilihan untuk menolak? “

“ sayangnya tidak” jawab Bastian

“ baiklah, bukankah katamu aku tak punya pilihan untuk menolak” kataku tersenyum melihat kearah pantai. Bastian langsung memelukku seakan tak ingin aku bergeser sedikitpun.

Tak ada masalah besar yang tak terselesikan dalam hubunganku dengan Bastian selama aku menjadi kekasihnya. Aku tak segan membawanya bertemu dengan kedua orang tauku. Aku tak ingin kehilangn kekasihku lagi saat ini. Walaupun Davi masih selalu ada di setiap tangisku.

“ sayang maaf aku terlambat “ kataku setengah berlari kearah meja di mana Bastian berada. Dia mengajakku makan malam dan aku terlambat.

“ kau tidak terlambat Raya “ katanya dengan senyum manis diujung bibirnya. Ya aku memang tidak terlambat. Karna Bastian akan datang duapuluh menit sebelum waktu yang ditetapkan. Dia tak akan pernah membiarkan aku menunggunya. Pelayan datang dengan hidangan yang sudah dipesan Bastian sebelumnya. “Bagaimana pekerjaanmu hari ini sayang?” Tanya Bastian

“ sama seperti biasa, taka da yang spesial” jawabku datar

“ kalau begitu maukah kau melakukan sesuatu yang spesial untukku? “ kata Bastian, aku melihat raut tak percaya diri padanya. Mungkin dia mengira aku tak akan mau melakukan apa yang dia katakan. Aku menghentikan tanganku mengaduk coklat panasku.

“ apapun Bastian “ jawabku mantap

“ maukah kau bertemu dengan ayah dan ibuku? “ Tanya Bastian lagi. Senyum mengembang di bibirku saat Bastain mengatakannya. Aku sudah siap dengan saat-saat seperti ini, saat Bastian mengajakku bertemu dengan kedua orang tuanya. “ kenapa diam? Kau tak bersedia ya? “ Tanyanya lagi

“ sudah kubilang, apapun akan kau lakukan.” Kataku membuat senyum diwajahnya

“ terima kasih sayang “ aku menganggukkan kepala. “ makanlah, aku sudah kenyang “ katanya.

“ apa maksudmu? Kau ingin membuatku terlihat gendut di depan orang tuamu nanti atau tak ingin makan bersamaku? “ kataku ketus padanya

“ tidak, aku hanya merasa kenyang saat kau mengabulkan permintaanku”

“ tapi aku tak bisa makan sebanyak iniii ” kataku merajuk dan diikuti dengan tawa raingnya. “ kau ini selalu saja tertawa saat aku tak bisa membalas perbuatanmu “ kami tertawa menikmati malam indah ini.

Namun sesuatu yang tak pernah kubayangkan lagi terjadi di malam indah bersama Bastian. Sebuah lagu merdu menghentikan tawaku dan memaksaku menoleh kearah panggung dan melihat sosok itu. Ya Davi ada disana, dia kembali saat aku menemukan cahaya dalam lubang yang membuatku terjebak dikegelapan. Perlahan air mataku mulai mengalir. Taukah dia aku sangat merindukannya? Tapi mengapa dia kembali saat sudah ada Bastian dalam kehidupanku. Saat Bastian akan memberikan apa yang selama ini aku inginkan sebagai perempuan. Keseriusannya dalam menjalani hubungan ini. Setelah alunan lagu selesai Davi berjalan mendekat kearah mejaku dan Bastian. Aku membuang pandangan darinya. Tampak jelas raut bingung dari wajah Bastian. Dia memang tak pernah mendengar nama Davi disetiap kataku.

“ hay sayang, apa kabar? “ Tanya Davi basa-basi dan mengecup keningku. Aku hanya bisa diam, mataku mulai berkaca. Aku merindukan Davi dan mencintai Bastian. dilema yang tak pantas aku rasakan. Dan apa tadi katanya? Sayang? Apa dia sudah gila, aku dimeja ini bersama kekasihku dan dia berani memanggilku sayang??

“ baik “ jawabku singkat. Aku mengangkat kepala dan menemukan raut wajah semakin tak mengerti dari Bastian. Dia menaikkan sebelah alisnya saat mata kami bertemu. Seakan meminta penjelasan siapa pria yang memanggilku sayang dan mengecup keningku ini. Padahal Bastian tak pernah menciumku untuk menjaga kehormatanku. “ sayang kenalkan ini Davi. “ kataku pada Bastian seraya menggenggam erat jemarinya. Sedikit terkejut saat aku menyebutkan nama Davi. Sepertinya Bastian mengetahui tentang Davi walau bukan dari diriku.

“ oh, gue Bastian” kata Bastian melepaskan genggamanku dan mengulurkan tangannya pada Davi

“ gue Davi” jawab Davi membalas uluran tangan Bastian. Aku langsung mengajak Bastian pergi meninggalkan café itu.

Sepanjang perjalanan mengantarku pulang, tak ada satu patah katapun yang keluar dari mulut Bastian. Akupun tak berani untuk memulai pembicaraan, aku kumpulkan semua keberanianku untuk memulai percakapan.

“ kapan aku bisa bertemu dangan kedua orang tuamu Bastian ? “

“ minggu dapan, apa kau masih bersedia Raya? “

“ apa yang membuatku berkata tidak? “

“ Davi mungkin.” Katanya tenang, aku melihatnya yang menatap lurus kedepan saat mengemudikan mobilnya. Aku mengerti apa yang dirasakannya, saat ia baru ingin memulai keseriusannya padaku, datang Davi yang berperan besar sebagai penghancur hubungan kami.

“ Davi tak akan berperan apapun sayang” kataku menyentuh bahunya, dia tersenyum dan menggenggam erat tanganku.

Acara pertemuanku dengan keluarga Bastian berjalan lancar, orang tuanya yang ramah membuatku nyaman bersama mereka. Bahagia saat bercanda ria bersama keponakan Bastian yang sangat lucu. Namun kebahagiaan itu semakin lama terkikis dan habis saat banyangan Davi selalu hadir dalam otakku, menghantui fikiranku bagai kutukan yang tak bisa dilepaskan. Serangkaian bunga mawar putih selalu menyapa pagiku lengkap dengan kartu ucapan yang sering dilakukan Davi saat aku menjadi kekasihnya, tapi aku bukan kekasihnya lagi sekarang. Aku juga mendatangi Davi dicafe tempat ia bekerja. Menjelaskan bahwa Bastianlah kekasihku sekarang. Namun ia selalu menganggap aku memang kekasih Bastian, tapi hatiku tetap miliknya. Pemikiran yang sangat konyol. Hal itu menggangu fikiranku. Aku bahkan sampai tega mengabaikan perhatian Bastian. Pertengkaran besar tak lagi bisa dihindarkan. Bastian selalu sabar menghadapiku, namun kesabarannya membuatku menangis. Aku tak bisa mengfokuskan hatiku hanya untuknya seperti apa yang dilakukannya padaku. Davi adalah penyebabnya, bahkan aku tak lagi bisa menikmati moment indah saat bersama Bastian karna bayangan Davi.  Ini sungguh menyiksaku.

Suatu hari Davi mendatangiku saat aku makan malam di café tanpa bastian. kesibukannya membuatku menikmati malam ini sendiri.

“ ada yang ingin aku biacarakan padamu “ kata Davi tanpa basa-basi seakan aku sudah memaafkannya karna meninggalkanku.

“ apa? “

“ minggu depan orang tuaku akan datang ke Jakarta, aku sudah mengatakan akan mengenalkanmu padanya ” kata Davi menjelaskan. Aku diam dan meletakkan sendok diatas piring, menatap tajam padanya dan berkata.

“ apa kau sudah gila, aku bukan kekasihmu lagi sekarang, kemana saja kau saat aku menginginkan hal itu dan menghilang entah kemana, sekarang saat Bastian memberikan apa yang aku inginkan dan kau baru akan memulainya? “ aku berkata tegas membuat raut wajah Davi mengeras. Keheningan terjadi antara aku dan Davi. Aku benci suasana seperti ini saat bersamanya. Itu hanya akan membuat otakku mereka ulang kenangan-kenangan ku saat bersamanya dulu, bagai monitor besar dalam otakku. “jangan berharap aku akan melakukan hal itu“ kataku lagi segera mengambil tas kecil yang ada dikursi sampingku. Aku tak ingin merasakan dilema ini saat aku merindukan Davi dan mencintai Bastian. Berdiri dan siap meninggalkan Davi yang masih terdiam. Memantapkan langkahku dan berhenti saat Davi membuka suaranya.

“ apa kau mencintainya? “

“ tentu, dan itu bukan urusanmu”

“ kau tidak mencintainya Raya, aku tau kau hanya mencintaiku. Kau hanya tak ingin kehilangan orang yang memperhatikanmu, dan itu bukan cinta namanya.”

“ setidaknya Bastian tidak akan meninggalkanku begitu saja dan membuat luka yang begitu menyiksa.” Kataku membuatnya kembali diam. “ dan tau apa kau tentang cinta, sedangkan kau seenaknya meninggalkan kekasihmu saat dia berharap banyak padamu “ kataku lantang dan siap meninggalkannya dari café ini.

###

Kejadian tiga jam yang lalu itulah yang membuatku menangis dikamar Rara malam ini, Rara membiarkanku terlelap hingga pagi menyapaku. Saat membuka mata Rara sudah menyiapkan sarapan untukku. Setelah sarapan aku memikirkan apa yang aku lakukan setelah ini. Mungkin Davi benar, aku hanya takut kehilangan orang yang memperhatikanku, itu tak adil untuk Bastian yang sangat mencintaiku. Dua hari lagi Bastian pulang dari Surabaya setelah semua pekerjaannya selesai, dan aku akan menyelesaikan masalah ini, atau mungkin aku akan menyelesainkannya tanpa ada Bastian disini.

“ will you marry me? “ beberapa kata yang aku dapatkan beberapa jam yang lalu dan aku selalu mengulang untuk membacanya. Sebuah pesan singkat dari Bastian yang membuatku kembali dilema. Kali ini aku mencoba untuk menahan air mataku. Aku menekan tombol call yang ada di ponselku.

“ halo Bastian,  ada yang ingin aku bicarakan padamu” kataku tanpa basa-basi, aku tak yakin bisa melakukan ini.

“apa sayang? Apa aku harus kembali ke Jakarta hari ini? “

“ tidak!” cegahku cepat “ aku akan mengatakannya sekarang”

“baiklah, sepertinya kau sedang terburu-buru sayang. Katakan saja, aku akan mendengarkan.”

“ aku sudah membuat pilihan” kalimatku terhenti, tak sanggup jika benar-benar harus meninggalkan semua yang ia berikan padaku. Bastian menunggu kalimatku berikutnya. “ pilihan untuk pergi dari kehidupanmu.” Aku menggigit bibirku menahan tangis saat aku mnegtakan hal itu. Bastian pun terdiam mencerna apa yang aku katakan.

“ apa keinginanku untuk menikahimu terlalu cepat? “ tanyanya

“tidak Bastian, tidak ada yang salah saat kau memintaku menikah”

“lalu apa yang membuatmu ingin meninggalkanku?” kata Bastian. tak ada lagi nada riang yang selalu ada pada dirinya.

“ masih ada nama Davi dalam hatiku.” Aku menghentikan kalimatku, menahan tangis sat mengatakan ini. Bastian tak mengatakan apapun, dia memang tak pernah memotong kalimatku saat aku berbicara. “ aku tak ingin menikahimu dengan bayangan Davi yang masih tersimpan dalam memoriku. Aku tak ingin menyakitimu lagi, karna itu aku memilih pergi”

“itu tak masalah untukku, aku akan membuatmu mencintaiku”

“ itu yang membuatku harus pergi, cintamu terlalu bersih untukku yang menyimpan dua nama pria dalam hatiku. Cintamu sungguh tak pantas untuk diduakan Bastian. kau pria yang ramah dan banyak yang menyukaimu, aku tak akan membiarkanmu terus terkurung bersamaku yang.. “ aku tak kuasa melanjutkan perkataanku. “ aku yang hanya akan menyakitimu” lanjutku

“tapi aku tak ingin kau pergi, aku mohon” mohon Bastain

“ maaf Bastian, aku sudah mengambil pilihan ini.” Kataku langsung memutuskan pembicaraan sebelum Bastain menjawab. Air mataku mulai tumpah tak terkendali, aku tak menyangka bisa meninggalkan Bastian, sejujurnya aku sangat tak ingin kehilangannya. Aku langsung menghapus air mataku untuk memantapkan pilihan ini. Nama Bastian tercantum saat ada panggilan masuk diponselku.

“ mba, maaf bisa tolong dimatikan ponselnya, sebentar lagi kita akan take off ”

“ oh iya akan saya matikan, terima kasih ” jawabku pada pramugari tersebut. Ya pesawatku akan take off sebentar lagi. Aku mulai menikmati indahnya awan tebal saat pesawat ini membawaku pada takdir yang lain. Takdir dimana tak akan ada nama Davi dan Bastian yang membuatku merasakan dilema akan cinta.

*END*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun