Mohon tunggu...
Fadhila Almapuspita
Fadhila Almapuspita Mohon Tunggu... -

a planner, exactly like what you need.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Hati-hati! Stunting: Musuh Bangsa, Bunda, dan Anak

11 Desember 2017   19:12 Diperbarui: 13 Desember 2017   05:21 3341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai negara yang masih dalam tahap berkembang, Indonesia memerlukan kualitas sumber daya manusia atau penduduk yang baik. Namun sayangnya, pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia belum sebanding dengan kualitasnya. Padahal, kualitas penduduk yang baik merupakan modal pembangunan negara. Salah satu hal penting yang mempengaruhi kualitas penduduk adalah tingkat kesehatan, seperti pemenuhan gizi, tingkat harapan hidup, lingkungan, serta wabah penyakit yang menjangkit suatu daerah. 

Namun, pada kenyataanya, di Indonesia sendiri kesehatan masih menjadi masalah yang belum terpecahkan. Salah satunya adalah masalah kurangnya gizi pada bayi, balita, hingga anak-anak. Masalah pemenuhan gizi yang masih belum diwaspadai oleh masyarakat Indonesia adalah stunting.

Stunting atau kerdil karena gizi buruk kronis adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting dapat terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun, atau yang biasa disebut 1000 hari pertama kehidupan, yang meliputi 270 hari selama dalam kandungan ditambah 730 hari selama dua tahun pertama kehidupan seorang anak. 

Kekuranan gizi terebut dapat menyebabkan naiknya angka kematian bayi dan balita, penderita mudah terjangkit penyakit serta memiliki postur tubuh tidak ideal di masa depan. Selain itu, kemampuan dan kecerdesan penderita juga kurang dari balita lainnya, sehingga dapat menghambat proses belajar. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas penduduk Indonesia untuk menghadapi pembangunan di masa yang akan datang.

Prevalensi
Prevalensi
Di Indonesia, sekitar 37% balita atau sebanyak 9 juta balita mengalami stunting (Riskesdas 2017). Ini berarti, 1 dari 3 balita di Indonesia mengalami stunting. Sekretaris Eksekutif TNP2K Bambang Widianto menyatakan, bahwa kondisi gizi buruk kronis yang melanda Indonesia itu menempatkan bersama 47 negara yang kurang gizi, seperti Angola, Bangladesh, Nigeria, Pakistan, dan Haiti. Bahkan di kawasan Asia Tenggara, Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara paling banyak menderita stunting, di bawah Timor Leste dan Laos. Ini berarti, tingkat pemenuhan gizi bayi dan balita baduta (bawah dua tahun) di Indonesia masih amatlah kurang. Meskipun stunting terjadi di hampir seluruh daerah, Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi yang memiliki jumlah balita penderita stunting terbanyak di Indonesia, yaitu sekitar 58,4%. Hal yang mendasari banyaknya anak-anak penderita stunting adalah kemiskinan.

World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia memiliki target, pada tahun 2025 harus terjadi pengurangan sebanyak 40% dari total penderita stunting di seluruh dunia. Hal ini berarti bahwa Indonesia sebagai anggota dari PBB juga termasuk dalam target tersebut. Namun apabila melihat masih tingginya angka stunting di Indonesia, mampukah Indonesia menggapai target tersebut?

Stunting bukan hal yang sulit untuk dicegah. Hanya saja, kemiskinan yang masih menjerat menjadi alasan para ibu tidak dapat memenuhi gizi yang baik untuk anak-anaknya. Rendahnya pengetahuan serta kewaspadaan ibu tentang bahaya stunting menjadi alasan lainnya. Pemerintah pun telah berupaya untuk meningkatkan asupan gizi bagi bayi dan balita, seperti penyediaan layanan posyandu bagi ibu hamil dan balita agar kesehatannya selalu terpantau, serta pemberian vitamin dan mineral tambahan untuk balita. 

Terdapat pelayanan kesehatan bayi, yaitu pelayanan kesehatan pada bayi minimal 4 kali yaitu satu kali pada usia 29 hari-2 bulan, satu kali pada usia 3-5 bulan, satu kali pada usia 6-8 bulan, dan satu kali lagi saat usia 9-11 bulan. Pelayanan kesehatan tersebut meliputi pemberian imunisasi dasar (BCG, DPT/HBI1-3, Polio 1-4, Campak), pemantauan pertumbuhan, Stimulasi Deteksi Interverensi Dini Tumbuh Kembang, pemberian vitamin A pada bayi umur 6-11 bulan, penyuluhan pemberian ASI eksklusif dan Makanan Pendamping ASI.

Meskipun pemerintah telah menyiapkan program atau layanan kesehatan yang baik untuk memberantas stunting, tetap saja peranan ibu merupakan hal yang paling penting demi terpenuhinya gizi anak. Selain pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif selama dua tahun, ibu juga perlu memberikan Makanan Pendamping ASI (MPASI) bagi anak-anaknya agar mereka mendapatkan gizi yang sesuai. MPASI mulai dkenalkan kepada anak sejak usia enam bulan. Sebelum usia enam bulan, bayi hanya diperbolehkan mendapat nutrisi dari ASI saja. 

Selain menjadi sumber nutrisi bagi bayi yang tidak dapat dipenuhi oleh ASI, MPASI dapat mealtih perkembangan bayi, seperti contohnya kekuatan leher untuk menopang kepala, bayi sudah berusaha untuk duduk dan kemudian dapat duduk dengan tegak dengan sandaran atau tanpa sandaran, bayi sudah mulai mengigit benda yang berada digenggamannya, dan respon motorik halus serta kasar dapat mulai terlihat dari anak memegang makanan, maupun sendok makan. Selain itu, ibu juga perlu memperhatikan akses air bersih dan sanitasi, karena akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi yang buruk dapat meningkatkan kejadian penyakit infeksi yang dapat membuat energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh menghadapi infeksi, gizi sulit diserap oleh tubuh dan terhambatnya pertumbuhan.

ndie-1-5a2e754a5e1373788956a153.jpg
ndie-1-5a2e754a5e1373788956a153.jpg
Pemenuhan gizi sendiri tidak perlu mengeluarkan biaya yang mahal, intinya seimbang. Bagi masyarakat yang tidak mampu, pemerintah telah menyediakan pelayanan kesehatan gratis, pemberian beras miskin (raskin), serta penyelenggaraan Program Keluarga Harapan dengan memberi dana non tunai untuk membantu keluarga sangat miskin yang memiliki anggota ibu yang hamil maupun menyusui. Ini menandakan bahwa kemiskinan seharusnya bukan lagi alasan untuk tidak memenuhi kebutuhan gizi anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun