Mohon tunggu...
Dhila Joned
Dhila Joned Mohon Tunggu... Guru - Ibu Jhos

Setiap kata memiliki makna. Setiap yang tertoreh adalah refleksi setelah melewati hari

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar dari Medusa

29 Mei 2023   19:29 Diperbarui: 29 Mei 2023   19:39 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa waktu lalu terdapat tren Medusa di TikTok. Disalah satu versi kisah hidup Medusa diceritakan bahwa sebenarnya Medusa adalah pendeta yang taat. Kecantikannya menarik banyak perhatian para dewa termasuk Posaidon yang tidak lain adalah dewa laut. 

Singkatnya Poseidon memperkosa Medusa. Ketika Athena mengetahui pemerkosaan itu, dia malah menghukum Medusa dengan kutukan yang mengerikan, sehingga membuat tampilannya berubah dari gadis cantik menjadi monster mengerikan yang kita lihat saat ini. 

Kisah Medusa kalau dilihat dari kacamata sosiologis adalah potret nyata budaya patriki yang telah mengakar jauh sebelum peradaban kita saat ini. Budaya patriarki memposisikan laki-laki sebagai pihak yang gagah dan cenderung memiliki keleluasaan untuk melakukan apapun terhadap perempuan. 

Budaya ini juga memberikan konstruksi dan pola pikir apabila laki-laki berkaitan erat dengan ego maskulinitas. Sementara femininitas sendiri diabaikan dan dianggap sebagai sesuatu yang lemah. 

Masyarakat seperti membiarkan jika ada laki-laki melakukan "pelecehan" kepada perempuan, tindakan mereka seolah-olah menjadi hal yang lumrah dan wajar sebab sebagai laki-laki, mereka harus berani menghadapi perempuan, laki-laki dianggap sebagai kaum penggoda sementara kaum hawa adalah objek atau makhluk yang pantas digoda. 

Medusa seolah menerangkan mengenai konsep victim blaming. Seorang korban yang menjadi objek atau sasaran kesalahan dari sebuah kejadian. Bahkan kutukan Medusa menyebabkannya terasing dari masyarakat. Alih-alih dicintai, nyatanya banyak yang datang mencari Medusa untuk membunuhnya. 

Di kehidupan modern seperti saat ini kemungkinan banyak medusa-medusa yang memilih untuk mendiamkan apa yang menimpanya. Ketakutan akan stigma dan respon sekitar, sepertinya menjadi pertimbangan tersendiri. 

Hal tersebut lantaran akar patriaki di masyarakat +62 dapat dikatakan masih bercokol kuat. Adanya tren Tiktok, dapat menjadi alternatif wadah speak up untuk para korban dengan nuansa satire. 

Terlepas dari latar belakang setiap orang yang berkontribusi dalam trend tersebut, alangkah lebih baik kita tidak pernah menjadi hakim dunia untuk mereka. Manfaatkan Moment untuk lebih belajar menjadi manusia dengan membumikan empati kepada Medusa-medusa sekitar kita. 

*Tulisan ini merupakan artefak ditahun 2022. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun