Radikalisme adalah suatu paham yang menginginkan adanya perubahan drastis di tatanan sosial yang biasanya disebabkan oleh adanya rasa ketidakpuasan dengan orang-orang yang sedang berkuasa (Kartodirdjo, 1984, p. 38; KBBI, 2023).
Secara konsep, radikalisme bukanlah sesuatu yang buruk. Kita sendiri bisa menjadi bagian dari bangsa Indonesia karena para pejuang kemerdekaan mempunyai ide radikal tentang tatanan politik Indonesia yang seharusnya. Radikalisme yang menjadi fokus disini adalah radikalisme agama, khususnya radikalisme berbasis agama Islam yang menyalurkan idenya melalui kekerasan.
Jika kita lihat dari statistiknya, kondisi radikalisme di Indonesia sudah bisa dibilang membaik. Hal itu Bisa dilihat dari pernyataan Ahmad Nurwakhid (Direktur Pencegahan dari BNPT) bahwa di tahun 2020-2021 jumlah masyarakat yang terpapar radikalisme turun ke angka 12,2% dari 38,4%. (Majid, 2022). Hal yang sama bisa dilihat di survei BNPT yang menyatakan indeks potensi radikalisme di tahun 2022 turun ke 10% dari 12,2% di tahun sebelumnya (Editor Menpan, 2022).
Namun di era digital ini muncul ancaman radikalisme melalui media baru, yaitu melalui media sosial. Dimana Wawan Hari Purwanto (Deputi VII dari 2 Badan Intelijen Negara) sudah menyatakan bahwa internet, khususnya sosial media itu sudah menjadi sumber penyebaran paham radikalisme, khususnya untuk generasi millenial (Editor CNN Indonesia, 2021).
Pembahasan tentang radikalisme umat Islam tidak bisa lepas dari citra Islam. Citra Islam sendiri, jika dilihat dari sudut pandang barat, bisa dipisah menjadi 2 periode; sebelum dan sesudah peristiwa 9/11.
Sebelum 911; Islam jarang diliput di media massa, dan jika diliput biasanya cenderung diliput menggunakan stereotip-stereotip tertentu (Nacos & Torres-Reyna, 2003, pp. 134, 150--151).
Sesudah 911; Islam diliput secara lebih adil di media masa. Salah satu alasannya adalah karena tokoh Islam lebih sering menjadi sumber. Namun hal yang sama tidak bisa dikatakan untuk perlakuan umat Islam yang ada di Amerika Serikat, yaitu dimana mereka banyak mengalami serangan-serangan fisik dan verbal (Nacos & Torres-Reyna, 2003, pp. 151--154).
Di era modern ini, citra buruk kepada Islam juga bisa dilihat dari terpilihnya Donald Trump sebagai presiden yang secara terbuka berkampanye dan membuat kebijakan yang mengandung unsur islamophobia (Executive Office of the President, 2017, pp. 8977, 8979; Sunar, 2017, pp. 47--48).
Dari pembahasan tentang radikalisme umat Islam dan citra Islam di dunia barat; salah satu hal yang kian muncul adalah penggunaan teknologi digital untuk memperburuk kedua hal tersebut. Untuk memperbaiki kedua hal tersebut, diperlukan literasi digital.
Literasi digital adalah sebuah konsep yang membahas tentang kemampuan seseorang untuk menemukan, mengonsumsi, menciptakan, dan mengkomunikasikan konten-konten digital; yang dilengkapi dengan sifat evaluatif (Spires & Bartlett, 2012, p. 9).
Karena kajian ini membahas tentang peran antropolog, peran mereka sebagai sebuah cultural broker juga tidak bisa dilupakan. Cultural broker adalah seseorang yang bisa menjembatani interaksi diantara dua budaya yang berbeda dan juga yang bisa menjaga ketegangan diantara dua budaya yang berinteraksi. (Wolf, 1956, p. 1076).