Mohon tunggu...
muhammad andhika raharjo
muhammad andhika raharjo Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

seorang mahasiswa yang belajar di universitas 17 agustus memilih prodi psikologi S1

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memahami Pemikiran Nietzche

6 Januari 2024   23:44 Diperbarui: 7 Januari 2024   00:10 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nietzche adalah tokoh yang pertama kali mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap dominasi dan pendewaan Nalar pada tahun 1880-an. Hal ini dikarenakan netze tidak puas dengan pendewaan akal, ia dianggap sebagai tokoh filsafat dekonstruktif yang pertama dan karena nietzche mengkritik teori-teori filsafat modern maka ia disebut juga sebagai tokoh atau filsuf postmodern. Dekonstruktif yang dilakukannya bertujuan untuk merombak semangat rasionalisme masyarakat pada masa itu. 

Nitzchemerupakan filsafat cara memandang kebenaran, suatu filsafat perspektif Islam menetapkan keinginan untuk berkuasa sebagai titik Sentral etika pandangan etisnya membuat Nietzche terkenal sebagai seorang filsuf. Dia juga dikenal sebagai "sang pem****h Tuhan" dalam Also sprach Zarathustra. Iya mau provokasi budaya barat saat itu yang banyak dipengaruhi oleh gagasan Plato dan tradisi Kristen. Menurutnya paradigma ini anti kehidupan dan pesimis karena sama-sama mengacu pada paradigma akhirat. nietzche sangat terkenal dengan hilih semuanya. Tuhan sudah tiada adalah sebuah ungkapan yang sangat terkenal dari nietzche. Karena hal ini, iya kemudian dijuluki sebagai pembunuh dan atheis. 

Ungkapan ini pertama kali muncul di gay science, dan dalam the madmen. dalam the madmen dinyatakan sebagai berikut: ".... kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia Telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri Siapakah yang akan menyapukan darahnya kita? dengan air Apakah kita dapat menyucikan diri kita? pesta-pesta penebusan apakah, perlu permainan-permainan suci yang perlu kita ciptakan? Bukankah kesabaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi Tuhan Tuhan semata supaya layak akan hal itu [pem****han Tuhan]?" dalam konteks ini, frasa Tuhan telah mati tidak boleh diartikan secara harfiah bahwa Tuhan saat ini sedang tidak ada secara fisik atau sebaliknya. Inilah cara nietzche mengatakan bahwa konsep tuhan tidak lagi dapat berfungsi sebagai Sumber segala aturan moral dan teologi.

Ketiadaan Tuhan adalah semacam ekspresi dari kenyataan bahwa manusia tidak dapat lagi mempercayai tatanan kosmis tersebut, karena mereka tidak lagi mengenalinya dalam diri mereka sendiri.

 Menurut Nietzsche, ketiadaan Tuhan tidak hanya akan berujung pada penolakan keyakinan kosmis dan tatanan fisik, namun juga penolakan terhadap nilai-nilai absolut itu sendiri, hingga penolakan terhadap keyakinan terhadap hukum-hukum moral objektif dan universal. Cara inilah yang menyatukan semua individu.

 Tuhan yang ditiadakan Nietzsche bukanlah Tuhan dalam arti spiritual, transenden, absolut, melainkan dewa-dewa pagan yang terperangkap dalam kotak biner, termasuk model keagamaan monoteistik dan politeistik kebanyakan dari kita.Dia adalah dewa yang merendahkan manusia hingga menjadi tidak berperikemanusiaan.

 Dalam hal ini, Nietzsche sangat berbeda dengan ateis Barat seperti Sartre, Kant, Camus, dan Armstrong.

 Mereka mengembangkan paradigma eksistensialis hanya dalam konteks kajian kebebasan manusia, bukan dalam konteks teori keberadaan Tuhan yang terputus-putus. Nietzsche tidak pernah menolak Tuhan dalam pemahamannya tentang dimensi ini sebagai sesuatu yang unik dan konsisten. Cara Nietzsche memahami Tuhan membawa kita pada nihilisme, namun Nietzsche mencoba mencari solusinya dengan mengevaluasi kembali landasan nilai-nilai kemanusiaan.

 Bagi Nietzsche, ini berarti mencari landasan yang jauh melampaui nilai-nilai Kristiani. Kebanyakan orang menolak untuk melampaui nilai-nilai ini. Namun paradigma kematian dan akhirat Tuhan tidak menjadikan filsafat Nietzsche sebagai filsafat nihilisme. Sebaliknya, merupakan filsafat yang mengatasi nihilisme dengan mencintai kehidupan secara menyeluruh (life-affirming) dan memposisikan manusia sebagai manusia super seutuhnya yang berkeinginan untuk berkuasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun