Mohon tunggu...
Andhika CahyaPermana
Andhika CahyaPermana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi UMY

hobi saya bermain game, bersepeda, dan olahraga

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Toxic Kid

11 Januari 2024   08:20 Diperbarui: 11 Januari 2024   09:03 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Dalam era digital ini, anak-anak tidak dapat lepas dari pengaruh internet, dan YouTube menjadi salah satu platform terpopuler di kalangan mereka. Sayangnya, di balik konten yang bersifat edukatif dan hiburan, muncul fenomena yang cukup mengkhawatirkan. Tokoh-tokoh 'toxic' atau perilaku 'toxic' yang muncul pada anak-anak sebagai akibat dari menonton YouTube. Pada dasarnya, YouTube menyediakan beragam konten yang dapat memberikan hiburan dan pendidikan kepada penggunanya. Namun, seperti mata pisau, keberagaman konten tersebut juga membuka pintu bagi dampak negatif, terutama pada anak- anak yang masih dalam tahap perkembangan. Salah satu fenomena yang muncul adalah munculnya perilaku 'toxic' pada anak-anak, yang mencakup sikap kasar, kurangnya empati, dan perilaku agresif.

Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan "toxic kid," faktor-faktor penyebabnya, serta dampaknya pada perkembangan anak-anak.

Selain itu, kita juga akan membahas peran orang tua dan penelitian ilmiah terkait untuk memberikan wawasan tentang bagaimana kita dapat melindungi anak-anak dari pengaruh negatif yang mungkin timbul akibat menonton YouTube.

Penyebab orang tua membiarkan anak melihat atau mengkonsumsi video di Youtube, dikarenakan orang tua mengira banyak sekali video atau konten yang bisa di tonton youtube. Seperti video kartun, vlog anak, lagu anak, dan lain sebagainya. Namun orang tua tidak terlalu peduli dengan konten lain yang mungkin belum cocok untuk anak-anak. Ditambah dengan anak-anak menjadi lebih tenang dan tidak rewel, membuat orang tua bisa melakukan aktivitasnya dengan lebih mudah tanpa gangguan dari anak.

Di lansir dari buku DIGITAL PARENTING karya Maulidya Ulfah, M. Pd.I. mengatakan bahwa saat ini tidak hanya orang tua dan orang dewasa saja yang menggunakan gawai (gadget), namun anak-anak sejak usia dini juga sudah banyak yang memanfaatkannya. Orang tua mengatakan bahwa pemberian media tersebut kepada anaknya bertujuan agar anak dapat diam dan tidak mengganggu aktivitas yang sedang dilakukan oleh orang tua nya atau pun orang dewasa yang disekitarnya (Brooks, 2011). Gawai (gadget) menjadi solusi untuk orang tua tidak terganggu aktivitasnya. Selain untuk memudahkan manusia dalam beraktivitas, saat ini di dalam gawai (gadget) juga terdapat macam-macam permainan baik online maupun offline juga konten-konten video yang berbasis anak telah tersedia secara online di aplikasi youtube. Hal ini menjadi pertimbangan orang tua telah merasa lebih baik memberikan akses pemanfaatannya.

orang tua tidak mempertimbangkan bahaya pemanfaatan media digital yang semakin menghantui anak seharihari. Zaman yang semakin modern ini tidak berbanding lurus dengan perkembangan karakter anak-anak zaman sekarang. Hambatan yang terjadi yaitu media digital dapat mempengaruhi sifat serta perangai anak-anak. Pengaruh media informasi yang berlimpah tanpa adanya saringan yang ketat membuat anak-anak dan orang dewasa memiliki kecenderungan menjadi individualistis dan egosentris (Wulansari, 2017).

Usia prasekolah merupakan anak-anak yang berada pada masa awal kanak-kanak yaitu usia 2-6 tahun (Hurlock, 2012). Dalam penggunaan gavvai (gadget) anak usia prasekolah ini sebenarnya belum layak untuk memegang dan menggunakan secara penuh (Novitasari & Khotimah, 2016). Melihat dari tujuan orang tua dalam pemberian gawai (gadget) kepada anak untuk menenangkan anak itu sebaiknya tidak dilakukan. Jika anak memang memiliki sifat temper tantrum, maka pola asuf permisif yang digunakan oleh orang tua.

Dari masalah di atas tentu ada penyebab mengapa anak bisa menjadi "toxic kid".

Salah satunya dari penerapan pola asuh yang salah terhadap anak. dimana anak lebih dimanja dalam hal apapun, sehingga anak tidak bisa membedakan mana perilaku atau perkataan yang baik atau yang buruk. Dilansir dari buku Kecanduan Gadget Pada Anak Usia Dini karya Slyview Puspita.

Pola asuh Permisif ini memberikan pengawasan yang longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak. Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri (egois), dan kurang percaya diri.

Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yangsangat minim pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga kadangkala biaya pun dihemat-hemat untuk anak mereka. Pola asuh penelantar akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang agresif, kurang bertanggung jawab, tidak mau mengalah, sering bolos, dan bermasalah dengan teman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun