"Rasulullah SAW bersabda bahwa tak ada balsan yang setimpal bagi haji mabrur selain surga".
Indonesia merupakan negara dengan kuota jumlah jamaah haji terbesar di dunia. Setiap tahun lebih dua ratus ribu rakyat Indonesia pergi menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Belum lagi kalau kita mau tambahkan dengan jumlah jamaah tidak resmi atau yang sering kita sebut dengan "haji turis" tentu jumlahnya akan bertambah besar lagi.Â
Di tengah berbagai krisis yang menimpa bangsa Indonesia tentunya kita akan tercengang melihat animo masyarakat untuk berangkat haji yang begitu besar. Kuota haji Indonesia sendiri sudah penuh hingga bertahun-tahun ke depan.
Menjadi jamaah haji tentu bukan perkara yang mudah, perlu pengorbanan yang tidak sedikit, baik dari segi materi, waktu, tenaga dan pikiran serta perasaan. Betapa banyak orang yang dari segi materi berlimpah namun tidak bisa menunaikan ibadah haji karena tidak mampu mengorbankan waktunya.Â
Haji merupakan satu-satunya rukun Islam yang diwajibkan hanya satu kali seumur hidup dan secara tegas disebutkan hanya diperuntukkan bagi orang yang mampu saja. Mampu disini menurut penulis lebih condong kepada mampu secara materi, sedangkan mampu dalam masalah lain seperti mampu secara keilmuan, fisik, waktu seharusnya tidak akan menjadi masalah kalau orang tersebut benar-benar berniat untuk menunaikan ibadah haji.Â
Fatwa sebagian ulama Saudi menyatakan apabila seseorang telah mampu untuk menunaikan ibadah haji namun ia menunda-nundanya tanpa ada uzur yang diperbolehkan secara syar'i dan kemudian meninggal sebelum sempat menjalankan ibadah haji maka ia mati dalam keadaan bukan muslim. Na'uzubillahi min djalik.
"Haji mabrur tak ada balasan yang setimpal kecuali surga" sabda Rasul yang membuat orang berlomba-lomba untuk menunaikan ibadah haji. Petani, nelayan, pegawai negeri yang notabene penghasilannya "pas-pasan" menyisihkan hartanya bertahun-tahun bahkan sampai menjual aset yang dimilikinya untuk dapat menunaikan ibadah haji, tentunya dengan harapan mendapat haji yang mabrur.Â
Namun siapa yang berhak menyandang gelar haji mabrur ?, tak seorang pun tahu, karena itu rahasia Allah semata. Akan tetapi para ulama sepakat bahwa tanda-tanda haji mabrur adalah terjadi peningkatan ke arah perbaikan yang signifikan dalam pribadi orang tersebut setelah menunaikan ibadah haji.Â
Secara gamblang bisa dikatakan ketika pedagang naik haji, maka pulangnya dia akan menjadi pedagang yang jujur. Jika pejabat naik haji, maka dia akan menjadi pejabat yang amanah, dan seterusnya. Secara gamblang juga bisa dikatakan ketika setiap tahun ratusan ribu rakyat Indonesia dari berbagai profesi termasuk di dalamnya pejabat pemerintahan menunaikan ibadah haji, semestinya kita bisa berharap banyak Indonesia akan menjadi lebih baik.Â
Tetapi apakah demikian ? ataukah kondisi bangsa tak berubah bahkan bertambah parah ??!. Apakah ini tanda haji kita semua tidak mabrur !??. Wallahu a'lam.
Haji mabrur merupakan hasil dari sebuah proses/rangkaian, dari persiapan pribadi, proses keberangkatan, ritual ibadah haji, sampai pulang ke kampung halaman. Pada saat berangkat tentunya semua orang punya niat yang sama, niat tulus untuk berhaji. Niat berhaji yang sudah bersih seharusnya terus dijaga selama di tanah suci. "Investasi" masa depan bangsa bernilai triliyunan rupiah yang dikeluarkan untuk menunaikan ibadah haji ini harus di jaga agar tidak sia-sia (hanya sekedar mendapat gelar Pa Haji atau Bu Haji saja), tapi haruslah investasi ini berarti bagi perbaikan bangsa.Â