Hal ini sepertinya memang takkan pernah lepas dari topik pembicaraan anak sekolahan dan anak kuliah.
Nilai.
Apa yang pertama kali muncul di pemikiran pembaca begitu kata itu dikatakan? Belajar ngebut malam-malam sebelum ujian, atau menyiapkan catatan-catatan kecil nan sakti, atau membeli pulsa yang cukup untuk berkomunikasi, semuanya demi kelancaran ujian dan mendapat nilai baik dari guru atau dosen. Saya bukannya mau sok suci dengan berkata saya menolak mentah-mentah segala bentuk contekan, diskusi, tanya jawab atau bahkan wawancara selama ujian. Saya juga melakukannya dan merasakan keuntungan darinya. Bukankah memang idealisme manusia di belahan dunia manapun adalah untuk mendapatkan untung?
Semuanya dilakukan demi satu perkara. Nilai, yang bagus, yang bisa dipamerkan ke orang tua kalau kita tidak cuma main-main ke kampus. Yang bisa dibahas dengan teman-teman, dan memberi sedikit pencitraan baik kalau kita menyampaikannya dengan cara 'di bawah' sombong. Yang bisa menjadi pertimbangan saat kita lulus (anggap saja dari bangku kuliah) dan ternyata kita punya banyak mimpi. Mimpi untuk kerja di perusahaan anu, mimpi untuk kuliah untuk gelar yang lebih tinggi di universitas anu, mimpi untuk menjadi delegasi yang dikirim ke negara anu, dan lain lain. Maka nilai akan menunjukkan kesaktiannya.
Betapa nilai itu saat berharga untuk kita para pelajar. Dan memang sistem pendidikan di Indonesia mengarahkan kita untuk memiliki asumsi seperti itu. Ujian, lebih spesifik lagi ujian akhir, masih menjadi penentu nilai dan masa depan seseorang. Lalu untuk apa kita diharuskan datang ke kampus atau sekolah tiap pagi, melipat selimut yang sebenarnya masih ingin ditarik lebih rapat, mengarahkan kemudi kendaraan ke kampus walau sebenarnya hati ingin ke warung kopi, menarik syaraf mata kuat-kuat agar tetap melek di kelas, menahan sisa kantuk bersenang-senang semalam penuh. Untuk apa semuanya kalau semua usaha kita bertahun-tahun akhirnya hanya diperhitungkan dengan biji-biji angka atau huruf di raport atau di Kartu Hasil Studi. Dan apa yang dimasukkan dalam otak kita? Pahamkah kita dengan pelajaran yang dicetak dalam buku teks dan dijelaskan lagi oleh guru? Mengapa kita tidak diharuskan membeli buku teks kemudian membaca di manapun, dan datang ke ruang kelas saat ujian saja? Toh jika nilai kita bagus kita bisa berbangga, lulus, dan dapat mewujudkan mimpi.
Nilai yang tercantum di raport, atau Kartu Hasil Studi tidak sepenuhnya menunjukkan pemahaman dan pengetahuan yang bisa diterima oleh otak kita selama bertahun-tahun menempuh pendidikan formal. Kinerja dan usaha kita selama mempelajari ilmu tersebut sebenarnya 'nilai' seutuhnya. Sayangnya tetap saja daftar nilai itu lebih sakti dari pemahaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H