Lama dipenjarakan oleh rutinitas, akhirnya saya bisa ‘menyolong’ waktu untuk sekedar menulis kembali disini. Sebelum itu, saya melakukan ritual harian saya, yakni mengecek akun social media dan woooooow……..
Tidak ada notif
Tidak ada mention
Tidak ada chat
Hiks!
Adakah yang senasib dengan saya? Hehe…
Oke! Yang itu gak usah diambil pusing, kembali ke topik utama! Kali ini saya ingin menulis tentang impian saya. Selepas lulus SMA, saya dilanda kegalauan berat. Kuliah atau kerja? Kalau kerja, memangnya punya bakat apa? Kalau kuliah mau masuk mana? Apa ada uangnya?
Namun keinginan saya untuk terus belajar masih sangat kuat. Saya putuskan untuk kuliah. Uangnya? Rezeki selalu ada untuk mereka yang benar-benar serius dan Alhamdulillah memang benar adanya dan itu yang saya rasakan. Di usia yang masih muda ini sayang rasanya bila langsung merelakan waktu untuk bekerja siang malam dengan gaji yang tidak seberapa.
Impian itu ‘sempat’ kandas, mengetahui bahwa saya tidak diterima di UI lewat jalur undangan. Ah! Rasanya saya ingin menyerah saja! Saat itu saya memilih jurusan Kriminologi, dimana impian saya ingin bekerja di kepolisian dan membantu masyarakat dalam memberantas kriminalitas. Tapi kesempatan itu masih ada, saya mengikuti ujian tertulis masuk PTN atau populer dengan nama SBMPTN. Saya belajar mati-matian (tapi kok masih hidup ya?) demi keinginan saya untuk bisa masuk UI.
Jurusan pertama yang saya pilih saat itu tetap Kriminologi UI, kemudian atas desakan mama, saya juga memilih jurusan Pendidikan Guru MI/SD di UIN Syarif Hidayatullah. Saya memang menyukai anak-anak tapi tidak terbesit dalam benak saya untuk menjadi seorang guru saat itu.
Hari penentuan pun tiba dan Alhamdulillah saya lulus! Langsung mengecek jurusan apa yang diterima, ternyata jurusan Pendidikan Guru MI/SD. Haaaah…. Rasa bangga dan kecewa menjadi satu. Bangga bisa menaklukkan ribuan peserta, kecewa karena tetap belum bisa menaklukkan UI.
Life must go on! Saya menjalani hari-hari di UIN dengan semangat. Dalam hati bertanya-tanya, benarkah pilihan saya ini? Mampukah saya? Terbesit rasa tidak percaya diri. Tapi semakin hari semakin saya sadar bahwa pilihan saya (dan mama) ini sama sekali tidak salah. Malah saya ingin cepat-cepat lulus dan bisa menyebarkan ilmu yang saya miliki ini kepada anak-anak didik saya nanti. (Aamiin)
***
Senjata guru adalah buku.
Kenapa menjadi guru? Padahal profesi sebagai akuntan atau sekretaris jauh lebih bergengsi? Kenapa harus repot-repot mengurus anak orang?
Jawaban saya adalah panggilan jiwa!
Ironis saat kita tahu bahwa anak-anak di negeri ini memiliki otak yang mumpuni namun tidak dengan karakternya. Anak-anak Indonesia itu pintar-pintar. Mereka cepat memahami pelajaran. Namun sayangnya, ilmu yang masuk tidak sepadan dengan akhlak yang diajarkan. Guru cenderung hanya sekedar ‘transfer’ ilmu. Sisanya, masa bodo! Seperti itulah kira-kira.
Lihat saja sekeliling kita, bagaimana seorang anak kecil bisa mengucapkan kata-kata kasar dengan santainya, menyerobot antrian, tidak menghormati orang lain  dan berbagai karakter buruk lainnya. Disinilah guru berperan, saat anak terjebak di lingkungan tempat tinggal yang buruk, minimal mereka mendapatkan lingkungan bermain yang ideal di sekolah. Bukannya malah dihantui dengan bentakan-bentakan dari guru.
Guru adalah pekerjaan yang mulia, memang begitulah adanya. Ilmu yang disebarkan terus menerus, akan menciptakan pahala yang tidak terputus-putus. Menyebarkan ilmu pun membuat kita dihormati, menaikkan derajat kita di mata orang lain terutama di mata Tuhan YME. Tak lupa, bonus ‘kebahagiaan’ yang kita rasakan saat melihat polah lucu murid, melihat murid berhasil, adakah kebahagiaan senikmat itu yang kita temukan pada pekerjaan lain?
Jangan hanya menaruh impian di angan, begitulah yang orang-orang hebat bilang. Menjadi guru adalah pekerjaan yang membutuhkan latihan terus-menerus. Saya sadar akan hal ini dan saya pun mengisi waktu luang dengan mengajar. Terasa sekali kebahagiaan kecil itu, saat anak-anak ‘lapor’ kalau nilai mereka bagus. Juga kepolosan anak-anak saat menanyakan hal yang mereka tidak mengerti. Tapi tetap saja, kalau mereka sudah berlari kesana kemari, jadinya riweuh euy! Pusing saya! Hehe….
Man Jadda Wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil!
Oh ya tidak lupa saya menyertakan dokumentasi dengan calon generasi super dibawah pimpinan Kakak Dhea ini…. He he he :D
Mengajarkan tentang Tuhan, bisa dengan cara mewarnai gambar sembari guru menerangkan tentang Tuhan. Belajar tentang makanan dan makanan 4 sehat 5 sempurna juga bisa dengan melalui kreasi lilin seperti gambar yang satu ini.
Mengajar gak musti dengan cara yang konvensional seperti di kelas kan? Guru kehilangan gairahnya, saat mereka lebih memikirkan gaji ketimbang tanggung jawab mereka sebagai pendidik. Ayok canangkan gerakan belajar sambil bermain! Gali karakter dan potensi murid. Jadi sahabat murid. Jadi guru yang selalu barokah. Heheee.....
Inilah foto terakhir. Gurunya mau iseng-seng dulu . . .
Kita generasi penerus bangsa, dan jadilah generasi yang bukan hanya bisa berkoar di dunia maya atau sekedar demo. Lakukan langkah nyata! Salah satu langkah saya adalah dengan mencetak bibit berkualitas untuk bangsa ini. Ayo apa gerakanmu untuk bangsa ini?
Semoga impianku bisa terwujud
Impianku harus terwujud.
Semangat! Salam Kompasianer.
Terimakasih sudah mampir :)
Depok, 05 September 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H