Di era milenia, MLM atau Multy Level Marketing, adalah bisnis yang sudah tak asing saa ini. Bisnis MLM seakan akan sudah menjamur diman mana dan penuh akan harapan harapan bagi sebagian orang yang berani bermimpi besar. Akan tetapi dibalik semua kesuksesan MLM ternyata didalam MLM banyak terdapat unsur gharar ( spekulasi) atau sesuatu yang tidak ada kejelasan yang diharamkan syariat. Yang pada awalnya  dari penjualan tersebut mengaharap keuntungan yang banyak,tetapi tidak mengetahui apakah berhasil untung atau rugi.
Gharar menurut Bahasa arab yang memiliki arti bahaya,resiko.[1] yang mana dalam asal makna al-khatar,yaitu sesuatu yang tidak diketahui pasti benar atau tidaknya. Dari arti itu, gharar dapat berarti sesuatu yang lahirnya menarik, tetapi dalamnya belum jelas diketahui. Bisnis gharar dengan demikian adalah jual beli yang tidak memenuhi perjanjian dan tidak dapat dipercaya, tidak diketahui harganya, barangnya, dan kondisi barangnya.[2] Dengan demikian antara yang melakukan transaksi tidak mengetahui batas batas hak yang diperoleh melalui transaksi tersebut.[3] Di dalam kontrak bisnis berarti melakukan sesuatu secara membabibuta tanpa pengetahuan yang mncukupi, atau mengambil resiko sendiri dari suatu perbuatan yang mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis apa akibatnya, atau memasuki kancah resiko, tanpa memikirkan konsekuensinya. Menurut imam Ibnu Taimiyah, gharar itu dilibatkan apabila seseorang tidak tahu apa yang tersimpan bagi dirinya pada akhir suatu kegiatan bisnis atau jual beli. Pada intinya, konsep gharar dapat dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama, adalah unsur resiko yang menagandung keraguan,probabilitas dan ketidakjelasan secara dominan. Sedangkan kelompk kedua adalah unsur meragukan yang dikaitkan dengan penipuan, atau kejahatan oleh satu pihak terhadap pihak lainnya.
 Menurut Sarjana Barat, Maxime Rodinson yakni "segala perolehan yang didapatkan dari peluang dari penyebab yang tidak ditentukan sebelumnya adalah dilarang. Dengan pengertian ini, maka aan menjadi sesuatu yang salah untuk menyuruh seorang pekerja meguliti binatang dengan menjanjikan kepadanya separuh kulit binatang trebut sebagai imbalan hasil kerjanya, atau menyuruh seorang pekerja menggiling bulir padi dengan menjanjikannya bekatul dari proses penggilingan yang dilakukannya, dan seterusnya. Hal ini dilarang karena sangat tidak mungkin untuk mengetahui secara pasti rusak atau tidaknya kulit binatang tersebut dalam proses pengerjaannya, atau untuk mengetahui seberapa banyak bekatul yang akan dihasilkan."[4] Kemudian seiring banyaknya tafsir dari berbagai hadist, sehingga Sarjana Barat, Frank Vogel  mengemukakan ringkasan gharar berdasarkan kategori tingkat resiko  yang meliputi spekulasi murni, perolehan yang belum pasti, dan ketidaktepatan. Ia menyimpulkan bahwa " Kemungkinan interpretasi terahadap hadis hadist gharar adalah hanya melarang risiko yang mengamsumsikan keberadaan suatu objek yang di transaksikan ( oleh penjual dan pembeli), tidak hanya sekedar harganya. Didalam hadist hadist tersebut, resiko semacam itu timbul: 1) Karena para pihak yang bertransaksi "kurang pengetahuannya" ( jahl atau tidak menyadari) terhadap suatu objek. 2) Karena objek tidak ada pada saat dilakukan transaksi,atau 3) Karena objek terhindar dari pengawasan para pihak yang bertransaksi. Oleh karena itu, para ulama biasa menggunakan salah satu di antara tiga kategori di atas utuk mengidenifikasi jenis jenis risiko yang dapat dikatakan sebagai gharar''[5]
 Menurut  ulama Islam, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa menafsirkn aturan gharar sebagai pelarangan ketiadaan barang dan ketiadaan pengetahuan sangat membatasi kebebasan kontrak, yang menimbulkan legalisme buta dan menghambat kesejahteraan manusia dengan cara tidak semestinya. Gharar adalah sesuatu yang menyebabkan keburukan maysir sebagaimana tercantum dalam Al-Quran. Dengan berusaha mengembalikan gharar pada makna "resiko", Ibnu Taimiyah menerjemahkan sebagai "keraguan antara kebaikan dan kerusakan." Jual beli gharar seperti itu dilarang karena jual beli tersebut melibatkan maysir atau perjudian. Gharar merupakan sebuah persoalan tingkat ketidakpastian , tidak dapat dihilangkan sepenuhnya dari kontrak. Jadi, jika sebuah kontrak hanya mengandung sedikit gharar,maka kontrak tersebut berlaku.[6]
Â
  Penerapan Gharar dalam kehidupan sehari hari yang menimbulkan keraguan dan probabilitas yaitu:
Â
- Menjual ikan dalam air
Â
Menjual ikan yang belum ditangkap itu tidak dibenarkan dan tidak sah sebagai barang milik. Sama halnya dengan menjual ikan yang pernah ditangkap lalu kemudian dilepas kembali ke dalam kolam sehingga untuk menangkap kembali mendapatkan kesulitan juga dianggap  tidak sah dan batal, karena jaminan untuk sampai ke pepmbeli diragukan