Pendahuluan
Korupsi merupakan suatu bentuk kejahatan yang tidak hanya diancam oleh hukum positif kita (Indonesia), tetapi juga keeksistensian para koruptor diancam didalam hukum Internasional dan bahkan Negara-negara yang menggunakan Hukum Islam. Terkait HukumInternasional, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 (United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), 2003)6 mendiskripsikan masalah korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas, keamanan masyarakat nasional dan internasional, telah melemahkan institusi, nilai-nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan maupun penegakan hukum. Didalam Hukum Nasional, Aturan dan Ancamanya terdapat didalam Undang-undang No 31 Th 1999 Jo. Undang-undang No 20 Th 2001.
Jika kita adalah orang Islam dan kemudian melihat ancaman sanksi Pidana yang terdapat didalam Hukum Nasional yang ancaman pidanaya antara 1 tahun sampai 20 tahun, bahkan sampai ada yang dihukum mati jika korupsi itu dilakukan dalam keadaan tertentu, maka dapat menimbulkan pertanyaan bahwa, apakah Hukum Pidana Kita telah sesuai dengan Hukum Korupsi dalam Islam, bahkan telah sesuai dengan Filsafat pemidanaan Islam? Mungkin saya mendeskripsikan mengenai konsep Pemidanaan dalam Islam terhadap Koruptor guna mengetahui keadilan didalam Undang-undang Korupsi Nasional kita. Keadilan disini bukan hanya keadilan bagi korban, tetapi juga keadilan bagi pelaku. Apakah Ancaman pemidanaannya itu sesuai dengan gradasi kejahatan yang dia lakukan. Karena salah satu indikasi peraturan pidana yang baik adalah peraturan yang ancaman sanksinya sesuai dengan tingkatan kejahatanya. Artinya adalah kejahatan kecil atau ringan diancam dengan Pidana yang ringan pula, dan begitu sebaliknya, Kejahatan yang besar atau berat, diancam dengan Pidan yang berat pula.
Rumusan Masalah
Seperti yang telah saya sebutkan diatas, saya ingin megetahhui apakah Hukum Pidana Kita Mengenai Pemidanaan terhadap pelaku korupsi telah sesuai dengan Filsafat pemidanaan Islam?
Pembahasan
1.Korupsi Dalam Perspektif Islam
Ajaran hukum Islam yang sangat menjunjung tinggi pemeliharaan akan kesucian baik lahir maupun bathin, menghendaki agar manusia (umat islam) dalam melakukan sesuatu harus sesuai fitrahnya, yakni apa yang telah dtentukan dalam al-Quran dan As Sunnah yang merupakan sumber hukum tertinggi. Pemeliharaan akan kesucian begitu ditekankan dalam hukum Islam, agar manusia (umat Islam) tidak terjerumus dalam perbuatan kehinaan atau kedhaliman baik terhadap dirinya maupun terhadap orang lain.
Pelanggaran sesuatu hal dalam hukum (pidana) Islam tidak terlepas dari tujuan pokok hukum Islam (al maqashid asy-syari’ah alkhams) yang merupakan hal esensial bagi terwujudnya ketentraman hidup manusia. Adapun tujuan pokok hukum Islam tersebut adalah memelihara keselamatan agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Salah satu tujuan pokok hukum Islam ialah memelihara keselamatan (kesucian) harta. Harta merupakan rezeki dalam arti material, karena dalam bahasa agama rezeki melipuu rezeki material dan rezeki spiritual..
Islam adalah agama yang sangat menjujung tinggi akan arti kesucian, sehingga sangatlah rasional jika memelihara keselamatan (kesucian) harta termasuk menjadi tujuan pokok hukum (pidana) Islam, karena mengingat harta mempunyai dua dimensi, yakni dimensi halal dan dimensi haram. Perilaku korupsi adalah harta berdimensi haram karena morupsi menghalalkan sesuatu yang diharamkan, dan korupsi merupakan wujud manusia yang tidak memanfaatkan keluasan dalam memproleh rezeki Allah. Secara teoritis kedudukan korupsi merupakan tindakan kriminal (jinayah atau jarimah) dimana bagi pelakunya diancam dengan hukuman hudud (had) dan juga hukuman ta’zir.
Islam membagi Istilah Korupsi kedalam beberapa Dimensi. Yaitu risywah (suap), saraqah (pencurian) al gasysy (penipuan) dan khianat (penghianatan). Yang pertama, korupsi dalam dimensi suap (risywah) dalam pandangan hukum Islam merupakan perbuatan yang tercela dan juga merupakan dosa besar serta Allah sangat melaknatnya. Islam tidak menentukan apa hukuman bagi pelaku suap, akan tetapi menurut fuquha bagi pelaku suap-menyuap ancaman hukumanya berupa hukuman ta’zir (jarimah ta’zir) yang disesuaikan dengan peran masing-masing dalam kejahatan. Suap adalah memberikan sesuatu kepada orang penguasa atau pegawai dengan tujuan supaya yang menyuap mendapat keuntungan dari itu atau dipermudahkan urusanya. Jika praktek suap itu dilakuakan dalam ruang lingkup peradilan atau proses penegakkan hokum maka hal itu merupakan kejahatan yang berat atau sejahat-jahatnya kejahatan. Abu Wail mengatakan bahwa apabila seorang hakim menerima hadiah, maka berarti dia telah makan barang haram, dan apabila menerima suap, maka dia sampa pada kufur.
Yang kedua, Korupsi dalam dimensi pencurian (saraqah). Saraqah (pencurian) menurut etimologinya berarti melakukan sesuatu tindakan terhadap orang lain secara tersembunyi.Sedangkan menurut Abdul Qadir ‘Awdah pencurian didefinisikan sebagai suatu indakan yang mengambil harta orang lain dalam keadaan sembunyi-sembunyi, artinya mengambil tanpa sepengetahuan pemiliknya. Jadi sariqah adalah mengambil barang milik orang lain dengan cara melawan hokum atau melawan hak dan tanpa sepengetahuan pemiliknya. Seperti halnya korupsi yang mengambil harta dengan cara melawan hak dan tanpa sepengetahuan pemiliknya (rakyat/masyarakat). Dalam syariah ancaman terhadap pelaku sariqah (pencurian) ditentukan dengan jelas sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al Maidah: 38, Allah berfirman:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potomglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan”
Sehubungan dengan hukuman potong tangan dalam jarimah sariqah (pencurian) terdapat perbedaan pendapat apakah juga berlaku terhadap korupsi karena berdasarkan hadist Nabi SAW, yang bersabda:
“Tidak dipotong tangan atas penghianatan harta (korupstor ), perampok dan pencopet”.
Yang ketiga, Korupsi dalam dimensipenipuan (al gasysy). Secara tegas berdasarkan sabda Rosulullah saw, Allah mengharamkan surga bagi orang-orang yang melakukan penipuan. Terlebih penipuan itu dilakukan oleh seorang pemimpin yang mempecundangi rakyatnya. “Dari Abu Ya’la Ma’qal ibn Yasar berkata: “ Ak mendengar Rosulullah saw. Bersabda :” seorang hamba yang dianugerahi allah jabatan kepemimpinan, lalu dia menipu rakyatnya; maka Allah mengharamkannya masuk surga.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Yang keempat, Korupsi dalam dimensi khianat (penghianatan). Bahasa Agama tentang korupsi yang sebenarnya adalah khianat (penghianatan), khianat berkecenderungan mengabailak, menyalahgunakan, dan penyelewengan terhadap tugas, wewenang dan kepercayaan yang amanahkan kepada dirinya. Khianat adalah pengingkaran atas amanah yang dibebankan kepada dirnya atau mengirangi kewajiban-kewajiban yang seharusnya dipenuhi. Perilaku khianat akan menyebabkan permusuhan diantara sesame karena orang yang berkhianat selalu memutar-balikkan fakta, dan juga berakibat terjadinya destruksi baik secara moral, social maupun secara politik-ekonomi. Islam melarang keras bagi orang-orang yang beriman terhadap perbuatan khianat baik terhadapa Allah, Rasul serta terhadap sesamanya. Dalam surat Al-Anfal: 27, Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu menghianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahuinya”.
Dari apa yang telah dijelaskan diatas, bahwasanya korupsi (dengan berbagai nama) dalam Islam digolongkan sebagai suatu perbuatan yang tercela dan pelakunya dikualifikasi sebagai orang-orang yang munafik, dzalim, fasik dan kafir, serta merupakan dosa besar yang ancaman hukumanya (selain had dan ta’zir) adalah neraka jahannam.
2.Definisi Filsafat
Filsafat Diambil dari bahasa Arab (falsafah) yang berasal dari bahasa Yunani Philosophia. Philos berarti Cinta atau suka, dan kata Sophia yang berarti bijaksana. Dengan demikian, secara etimologis kata filsafat member pengertian cinta kebijaksanaan. Didalam buku lain disebutkan bahwa Philosopia adalah suatu usaha
Untuk menemukan, melalui refleksi sistematik hakekat utama dari segala sesuatu. Karena hal yang tidak mudah untuk memberikan pengertian filsafat yang komperhensif dalam satu atau dua kalimat, maka saya ambil beberapa filusuf klasik
Mengenai apa yang disebut filsafat.
Plato, mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang ada, ilmu yang berminat untuk mencapai kebenaran yang asli. Kemidian Aristoteles mengatakan bahwa filsafat adalah Ilmu yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu, methaphisika, logika, etika, ekonomi, politik dan estetika.
Walaupun pada dasarnya sebagai deskripsi rasional tentang sesuatu, filsafat disebut ilmu dari ilmu, kritik, dan sistematisasi atau organisasi semua pengetahuan, yang ditarik dari ilmu empiric, penalaran rasional dan pengalaman umum. Dua cabang filsafat adalah Metafisika dan Epistimologi. Metafisika adalah bagian pengetahuan atau studi yang membahas tentang realitas tertinggi. Yaitu mempelajari yang ada dan yang mungkin ada di dunia ini. Sedangkan Epistimologi adalah Teori tentang pengetahuan atau filsafat Ilmu.Secara khas, dalam epistimologi dipersoalkan tiga pertanyaan utama, yakni apa yang menjadi landasan pokok dari pengetahuan? Sejauh mana kita dapat merasa pasti tentang apa yang menurut kita, kita ketahui? Dan apakah ada batas yang secara rasional tidak dapat dilampaui oleh kemampuan kita untuk mengetahui?
3.Titik Temu Antara Agama Dengan Filsafat
Baik agama maupun filsafat, pada dasarnya mempuunyai kesamaan, kedua-duanya memiliki tujuan yang sama, yakni mencapai kebenaran yang sejati. Agama yang dimaksud disini adalah agama “samawi”, yaitu agama yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi dan Rosulnya. Dibalik persamaan itu terdapat pula perbedaanya antara keduanya. Dalam agama ada beberapa hal yang amat penting, misalnya Tuhan, Kebajikan, baik, buruk, surge, dan neraka. Hal-hal tersebut diselidiki pula oleh filsafat.
Alasan filsafat untuk menerima kebenaran bukanlah kepercayaan, melainkan penyelidikan sendiri. Hasil fikiran sendiri. Tegasnya bahwa lapangan filsafat dan agama dalam beberapa hal mungkin sama, tetapi pada beberapa hal amat berlainan. Filsafat berdasarkan pikiran belaka. Agama berdasarkan Wahyu Illahi. Agama sering disebut kepercayaan, alasanya karena yang diwahyukan oleh Tuhan harusnya dipercayai.
4.Filsafat Hukum.
Ilmu Hukum merupakan bagian dari Filsafat. Hukum adalah Ilmu pengetahuan. Sedangkan Filsafat memiliki memiliki sifat yang mendalam dalam menyelidiki sesuatu. Objek penyelidikan Ilmu hanya terbatas pada sesuatu yang bisa diselidiki secara Ilmiah saja. Berbeda dengan filsafat yang akan terus bekerja Hingga sampai ke akar-akarnya, baik yang ada dan yang mungkin ada.
Filsafat Hukum membicarakan Tujuan atau akhir hukum dan keadilan dianggap sebagai Tujuan tertinggi. Jelas karena keadilan mutlak yang dituntut. Maka usaha-usaha filsafat hukum telah, dulu maupun sekarang, diarahkan untuk menemukan sebuah system hukum yang paling cocok bagi pencapaian keadilan mutlak. Cita-cita keadilan telah ddiformulasikan oleh para pemikir hukum dalam berbagai cara dan kita melihat banyak teori yang satu sama lain berbeda, masing-masing mengklaim kebenaran mutlak.
Cita-cita Keadilan terdapat didalam beberapa teori yang dideskripsikan oleh beberapa filusuf klasik. Namun menurut W.R Sorley, seorang filusuf Skotlandia, mengklaim bahwa tidak ada teori keadilan yang memuaskan yang bisa dikembangkan tanpa menemukan sebuah tempat bagi kesamaan dan kebebasan dalam skema organisasi sosial. Singkatnya, keadilan menurut kebebasan, kesamaan dan hak-hak dasar lainya yang diselaraskan dan melindungi umat manusia untuk mendapatkan sebanyak mungkin dengan kebaikan umum. Tetapi kebaikan umum tidak terdefinisikan dan sekaligus ditekankan bahwa keadilan memiliki komponen-komponen dinamik dan tidak stabil, yang membenarkan kita mengambil penyelesaian-penyelesaian tiruan untuk memecahkan problem-peoblem sosial kita tanpa memperhatikan waktu, keadaan evolusi sosial, perkembangan kekuatan-kekuatan produktif dan faktor-faktor ketergantungan lainya. Jadi keadilan selalu berubah.
5.Filsafat Hukum Islam Didalam Bidang Hukum Pidana ( Pemberian Hukuman Bagi Koruptor)
Berdasarkan Al-Quran, perbuatan pidana yang dilakukan Oleh seseorang yang bertanggung jawab diberi hukuman dengan hukuman tertentu sesuai keadilan menurut Petunjuk Allah. Dasar dari pada Siapa yang berbuat pidana, perbuatan kejahatan apa yang dapat dipidana dan bagaimana hukumanya. Perama didasarkan pada Keimanan Kepada Allah dan Wahyu Allah dan Al-Quran dan kedua didasarkan kepada akal sehat manusia untuk mendapatkan kemaslahatan didunia dan kebahagiaan di akherat.
Ajaran Islam Memandang bahwa hukuman yang dijatuhkan didunia menghapuskan dosa dan siksanya di akhirat. Sabda Rasul SAW:
Artinya: Hukuman dunia (hudud) menghapuskan dosa di akhirat.
Kejahatan-kejahatan pidana merupakan kejahatan : (1) terhadap Jiwa, (2) kejahatan teerhadap harta, (3) kejahatan terhadap kehormatan, (4) kejahatan terhadap keturunan, (5) kejahatan terhadap akal, (6) kejahatan terhadap agama dan (7) kejahatan terhadap kepentingan umum.
Filsafat Hukum Islam dalam bidang pidana, khususnya dalam perbuatan korupsi dan juga pemberian hukumanya, seperti disebutkan diatas telah terbagi dalam beberapa dimensi. Islam membagi Istilah Korupsi kedalam beberapa Dimensi. Yaitu risywah (suap), saraqah (pencurian) al gasysy (penipuan) dan khianat (penghianatan). Yang pertama, korupsi dalam dimensi suap (risywah) dalam pandangan hukum Islam merupakan perbuatan yang tercela dan juga merupakan dosa besar serta Allah sangat melaknatnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukuman terhadap Koruptor masuk kedalam hukuman Ta’zier. Hanya dalam dimensi mencuri saja yang berupa hukuman hudud. Hukuman ta’zier adalah kejahatan yang ancaman hukumanya tidak terdapat didalam Nash. Sehingga Diserahkan kepada Penguasa Secara Penuh. Namun dalam menjatuhkan hukuman yang tidak terdapat didalam nash harus didasarkan kepada pertimbangan akal sehat dan keyakinan hakim untuk mewujudkan maslahat dan menimbulkan rasa keadilan.
Ulama sepakat bahwa ta’zier dapat diterapkan pada setiap maksiat pelanggaran yang tidak ada hukum haddnya. Adanya Ta’zier dalam hukum Islam menjamin rasa keadilan masyarakat untuk mewujudkan maslahat. Yang sifat dan bentuk hukuman ta’zir deserahkan kepada kebbijaksanaan akal sehat, keyakinan dan rasa keadilan hakim yang didasarkan keadilan masyarakat. Prisip prinsip dalam pidana Islam ada 3 macam, yaitu:
a.Hukumanya hanya ditimpakan kepada orang yang berbuat jarimah atau pidana, tidak boleh orang yang tidak berbbuat jahat dikenai hukuman. Hal ini sesuai dengan Firman Allah Surat Al-an’am, ayat 164
b.Adanya kesengajaan. Seseorang dihukum karena kejahatan apabila ada unsure kesengajaan untuk berbuat itu, tidak ada kesengajaan berarti ada kelalaian, tersalah, atau keliru atau terlupa. Walaupun tersalah, atau keliru atau terlupa ada hukumanya, namun bukan hukuman karena kejahatan,melainkan untuk kemaslahatan dan bersifat mendidik. Hal ini sesuai dengan firman Allah Surat An-Nisa ayat 92.
c.Hukuman hanya dijatuhkan apabila kejahatan itu secara meyakinkan telah diperbuat.
Kesimpulan
Dengan melihat bahwa korupsi termasuk kedalam jarimah ta’zir, yang berarti bahwa didalam pemberian hukumanya diserahkan kepada penguasa sepenuhnya, maka saya menilai bahwa pemberian pidana kepada koruptor yang menggunakan hukum positif Indonesia telah sesuai dengan Filsafat Pemidanaan dalam Islam. Hal ini sesuai karena dalam pemberian hukuman teerhadap koruptor, hakim-hakim kita telah mempertimbangkan akal sehat dan keyakinanya untuk mewujudkan maslahat dan menimbulkan keadilan. Terkecuali Hakim-hakim yang tidak bermoral yang dapat dengan mudah disuap, hakim yang mengetahui kebenaran tetapi tidak memutus berdasarkan kebenaran yang ia ketahui. Hakim hakim seperti merekalah yang tidak pantas menjadi wakil Tuhan Di bumi dalam memutus perkara. Tetapi secara keseluruhan, pemidanaan terhadap koruptor telah menghadirkan filsafat pemidanaan Islam dalam Prakteknya. Ancaman Hukuman antara 1 sampai 20 Tahun dalam Undang-undang Korupsi, bahkan sampai hukuman mati dengan syarat-sarat tertentu dinilai telah mencoba menghadirkan keadilan. Keadilan dari sudut pelaku maupun keadilan dari sudut korban, yaitu masyarakat luas pada umumnya. Terkait dengan pro dan kontra atas berat dan ringannya putusan hakim dalam menghukum koruptor, itu terserah kepada yang menilai, tetapi dalan menjatuhkan putusanya hakim harus mengarahkan segala kemampuanya untuk mencari keadilan yang seutuhnya, karena pada setiap putusan hakim selalu mengatasnamakan Tuhan YME (KUHAP pasal 197) walaupun diketahui itu akan sulit untuk mencapai keadilan yang absolute, karena Keadilan yang hakiki hanya milik Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Azhar Basyir, Ikhtisar Fikih Jinayat, UII Press, Yogyakarta,
Asy Syekh Faizal bin Abdul Aziz Aal Mubarak, Nailul Authar, jilid 6, (terjemahan oleh), Mu’ammal Hamidy dkk, Bina Ilmu, Surabaya, 2001.
B. Arief Sidharta, Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu itu?, Pustaka Sutra, Ctk. 1, 2008.
Husain Syahatah, Suap dan Korupsi Dalam Perspektif Syariah, (terjemahan oleh), Kamra As’ad Irsyad, Amzah, Jakarta, 2005.
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, Ctk. Ke 2.
Juhaya S. Praja, Aliran-alira Filsafat dan Etika, Yayasan Piara, Bandung, 1997.
Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia, Pustaka Firdaus, 2001.
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam Dan Pemikiran Orientalis, PT Tiara Wacana Yogya, Ctk pertama, 1991.
Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Antikorupsi, CV Zikru’l-Hakim, Jakarta 1997
M Quarish Shihab, Dia di Mana-Mana,Lentera Hati, Jakarta,
Ahmad Azhar Basyir, Ikhtisar Fikih Jinayat, UII Press, Yogyakarta, 2001, hml 61
M Quarish Shihab, Dia di Mana-Mana,Lentera Hati, Jakarta, 2004, hlm. 383
Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Antikorupsi, CV Zikru’l-Hakim, Jakarta 1997, hlm.87
Husain Syahatah, Suap dan Korupsi Dalam Perspektif Syariah, (terjemahan oleh), Kamra As’ad Irsyad, Amzah, Jakarta, 2005,hlm. 23.
Asy Syekh Faizal bin Abdul Aziz Aal Mubarak, Nailul Authar, jilid 6, (terjemahan oleh), Mu’ammal Hamidy dkk, Bina Ilmu, Surabaya, 2001, hlm 3190.
Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia, Pustaka Firdaus, 2001, hlm.111
Munawar Fuad Noeh, op.cit, hal 90
Munawar Fuad Noeh, op.cit, hlm 89
Juhaya S. Praja, Aliran-alira Filsafat dan Etika, Yayasan Piara, Bandung, 1997, Hlm. 1.
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam Dan Pemikiran Orientalis, PT Tiara Wacana Yogya, Ctk pertama, 1991. Hlm. 3.