Mohon tunggu...
Dhenok Hastuti
Dhenok Hastuti Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger

penyayang binatang, penikmat kopi, penyuka musik dan film, pembaca buku yang buruk, dan penulis yang terus belajar; mari berkunjung ke rumahku: http://www.dhenokhastuti.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Berwisata Religi di Pertapaan Rawaseneng

22 April 2011   08:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:32 7821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13034615111215440675

Begitu memasuki kawasan ini, yang terasa adalah keheningan yang menyejukkan. Gunung yang menjulang perkasa  menjadi latar belakang komplek pertapaan. Pohon-pohon tinggi dengan ekosistem yang masih lengkap menjadi pemandangan yang dapat menghalau lelah perjalanan. Pertapaan yang Nama persisnya Pertapaan Santa Maria Rawaseneng ini terletak sekitar 14 km di sebelah utara Kota Temanggung, Jawa Tengah. Ini merupakan pertapaan Katolik dari Ordo Cisterciensis Strictioris Obsevantiae (OCSO), diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia menjadi Ordo Cisterciensis Obervansi Ketat, atau lebih dikenal dengan sebutan Ordo Trappist. Sekilas Ordo Trappist Kata ‘Cisterciensis’ berasal dari kata ‘Citeaux’, sebuah nama dusun kecil di Perancis. Di desa kecil itulah untuk pertama kalinya didirikan biara yang kemudian hari berkembang menjadi ratusan biara lain yang kemudian dikenal sebagai biara Ordo Cisterciensis. Pada abad-abad berikutnya biara-biara tersebut mengalami pasang surut, sehingga beberapa diantaranya mengadakan reformasi. Salah satunya adalah Biara La Trappe (di Prancis). Pada periode 1664-1700, Dom de Rance melakukan pembaharuan di biara tersebut yang kemudian diikuti biara-biara lainnya. Dari sinilah istilah ‘Trappist’ berkembang. Jelang akhir abad 18 berkecamuk Revolusi Prancis. Hampir semua biara dibubarkan, kecuali biara-biara yang berada diluar jangkauan revolusi. Biara-biara Trappist termasuk yang dibubarkan. Beberapa anggotanya sempat mengungsi, dan ketika revolusi berakhir, mereka mendirikan kembali sebagian biara. Tahun 1892 biara-biara yang mengikuti reformasi La Trappe membentuk ordo mandiri yang kemudian dikenal sebagai OCSO atau Ordo Trappist. Ordo Trappist ini menjalani hidup monastik (kerahiban) dengan kaul yang mengacu pada tata kehidupan monastik menurut Peraturan Santo Benediktus. St. Benediktus hidup di Italia tahun 480-547. Ketika muda ia meninggalkan studi untuk menjadi rahib yang bertapa seorang diri. Kemudian ia menjadi terkenal dan didatangi banyak orang. Banyak diantaranya yang kemudian minta bergabung dengannya. Maka ia pun menjadi abas atau pemimpin rahib di Monte Cassino, dekat Kota Napoli, Italia. Ia menyusun pertauran yang kemudian hari dijadikan pegangan bagi sebagian besar rahib di Eropa Barat. Benediktus membuat aturan berdasarkan tradisi kehidupan monastik yang diwariskan oleh tokoh-tokoh monastik yang hidup sejak abad ketiga. Bukan hanya tokoh monastik dari Eropa Barat, namun juga dari Eropa Timur dan Timur Tengah, khususnya Mesir dan Asia Kecil. Benediktus dikenal sebagai tokoh yang seimbang dan tau batas. Maka tidak heran jika di kemudian hari peraturannya menjaid pegangan klasik bagi para rahib Gereja Barat. St. Benediktus diberi gelar “Santo Pelindung Eropa” atas karya yang sudah dilakukannya. Tata kehidupan yang diwariskan oleh St. Benediktus berintikan hidup di dalam komunitas di bawah suatu peraturan dan seorang abas. Siapapun yang mau bergabung harus sungguh-sungguh mencari Allah dan mau bertobat terus menerus dalam suatu komunitas yang berada di bawah suatu peraturan dan seorang abas. Hidup hariannya terdiri dari rangkaian acara ibadat harian, bacaan rohani, dan kerja. Dalam menjalani semuanya itu para rahib harus membina sikap taat, diam diri, dan rendah hati. Melalui tata kehidupan yang dijalaninya itu, para rahib mengambil bagian dalam hidup, sengsara dan kebangkitan Yesus Kristus. Biara Rawaseneng didirikan pada tanggal 1 April 1953 oleh para rahib dari komunitas Biara Koningshoeven, Tilburg, Nederland yang masih dalam garis afiliasi Biara La Trappe. Proses pendirian biara ini pun tidak sederhana, melewati proses yang panjang. Dibutuhkan waktu 25 tahun terhitung sejak dilayangkannya surat permintaan pimpinan Gereja Katolik setempat, hingga direalisasikan menjadi sebuah biara. Pertapaan Rawaseneng di Masa Kini Saat ini Pertapaan Rawaseneng memiliki 34 anggota, namun 7 diantaranya sedang tugas belajar, baik di dalam maupun diluar negeri. Dua puluh tujuh anggota yang masih berkarya di Rawaseneng terdiri dari 2 Postulan, 3 Novis, 4 Monastikat, dan selebihnya Rahib. Diantara para Rahib ini 4 orang menjadi imam, yaitu Rm Gonzada yang sekaligus sebagai Abas atau pemimpin biara, Rm Atan, Rm Bavo, dan Rm Suit. Untuk menjadi anggota Ordo Trappist ini harus melewati beberapa tahapan: 1.    Peminat. Peminat adalah awam yang tertarik bergabung dengan Ordo Trappist. Dalam jangka waktu 3 bulan mereka tinggal di pertapaan, namun hanya di penginapan tamu. 2.    Aspiran. Aspiran adalah peminat yang mulai tinggal di lingkungan anggota. Sama dengan Peminat, dibutuhkan waktu 3 bulan untuk Aspiran mengenal lingkungan dalam biara. 3.    Postulan. Postulan adalah anggota yang sudah mengikuti pendidikan awal selama 1 tahun. 4.    Novisiat. Disebut Novis jika sudah menjadi anggota baru. Ada pembagian 2 masa, yakni Novis Kanonik-pembelajaran aturan gereja selama 1 tahun, dan Novis Ordo-pembelajaran aturan ordo selama 1 tahun. 5.    Yunior Monastikat, anggota (Novis) yang sudah mengucapkan kaul sementara. 6.    Rahib, anggota yang sudah mengucapkan kaul tetap. Para biarawan ini menjalankan mempunyai kewajiban ibadat harian 7 kali sehari. Diawali dengan ibadat pembuka pada pkl. 03.30. Berikutnya ibadat pagi pkl. 06.00, ibadat siang pkl. 08.00 dan 12.00, ibadat sore pkl. 14.30, perayaan ekaristi pkl. 17.00, dan ibadat penutup pkl. 19.30. Biarawan Ordo Trappist memiliki misi doa dan kerja tangan. Dengan misi sosial menghidupi perekonomian masyarakat sekitar, para biarawan mengelola perkebunan kopi sebagai garapan utama. Sekitar 137 ha -dari total 178 tanah milik pertapaan- ditanami kopi jenis Robusta. Dalam perkembangannya ada tambahan tanaman lain yang dapat memberikan nilai ekonomis, seperti Pisang Raja, Ketumbar, Dilem, dan pohon-pohon peneduh yang secara berkala ditebang untuk diambil kayunya. Maka dari perkebunan ini dikembangkan juga usaha pertukangan. Begitu pula dengan peternakan. Saat ini ada 130 sapi yang dikelola pertapaan. Delapan puluh betinanya sudah bisa diambil susunya. Selebihnya adalah sapi anak-anak, remaja, dan 3 pejantan. Selain dijual, susu hasil perahan sapi di pertapaan ini juga dimanfaatkan untuk membuat roti dan keju sebagai campuran bahan roti. Para anggota komunitas sendiri yang mengerjakannya. Roti produksi industri -yang terbilang kecil- pertapaan ini dikirim ke pasar lokal maupun ke kota lain, bahkan ke Jakarta. Selain sapi, ada ternak babi pula. Dari ternak –baik sapi maupun babi- ada sisa pakan yang bisa dimanfaatkan pula. Bersama sejumlah komponen lain –termasuk kotoran walet yang dikirim 3 bulan sekali sumbangan pengusaha walet dari Jakarta- disatukan dan diproses menjadi pupuk organik. Pupuk tidak dipasarkan namun dimanfaatkan untuk keperluan perkebunan. Pembuatan pupuk ini dapat mengurangi ongkos produksi. Pupuk juga dimanfaatkan untuk pemupukan bibit tanaman hias yang sedang dikembangkan para frater Ordo Trappist. Pembibitan tanaman dilakukan untuk memanfaatkan ruang-ruang yang tersisa. Untuk memenuhi kebutuhan listrik, Biara Trappist Rawaseneng ini mengolah sendiri pembangkit listrik dengan dua turbin yang mereka miliki. Tidak seluruhnya, sebagian masih mengambil dari PLN. Sumber air yang melimpah dari hutan kecil perkebunan kopi juga dimanfaatkan untuk kebutuhan air pertapaan dan warga sekitar. [caption id="attachment_102432" align="aligncenter" width="404" caption="Suasana beberapa sudut Pertapaan Santa Maria Rawaseneng"][/caption]

Bagaimana dengan penginapan tamu? Ternyata penginapan ini tidak masuk dalam hitungan sumber penghasilan pertapaan. Memang, kalau dilihat dari tarifnya tampaknya tidak memberikan nilai ekonomis. Makanya sering muncul anggapan, penginapan Pertapaan Rawaseneng ini sering ‘dimanfaatkan’ oleh ‘orang-orang kota’. Asumsi itu muncul karena banyaknya pengunjung di saat libur panjang. Anggapannya, keluarga-keluarga itu datang karena kerepotan ditinggalkan para pembantunya. Namun hal itu segera dibantah oleh pihak biara. Mereka mencoba melihat dari sisi positifnya, misalnya mengenalkan pertapaan kepada anak-anak.

Pada libur panjang dan juga hari raya kristiani, jangan harap bisa mendapatkan tempat dengan mendadak pesan. Saat Natal atau Paskah pemesanan bahkan dilakukan setahun sebelumnya. Sumber: Buku ‘Berziarah Setengah Abad’ tulisan Frans Harjawinyata OCSO dan hasil obrolan dengan Frater Agus. Catatan: tulisan ini saya buat 2 tahun lalu, jadi ada kemungkinan sudah ada perubahan angka pada sejumlah data yang saya sebutkan. Selamat merayakan Paskah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun