Nagariku menjawil napas panjang. Matahari terakuk di bawah seliri-seliri kosong dengan segenap teater yang menganulir seleranya. Langkah tradisional merambat dengan lidah-lidah lengai ketika nahas mengeksploitasi selisih. Sebangsa wejangan dari stadium perut bumi yang meniduri tegahan para petualang.
Suara penenang dari rahang manusiawi berdiri tegap di atas platform sementara. Separuh pemukim bertuan tertatal, mengaduh penuh penyambutan dengan laga tak berkapasitas. Matanya merosot, kulitnya mengawang, dan lututnya merentak tulang kesamarataan setelah kesialan merecoki pembuluh kehidupan.
Jiwa hitam menyambangi sekujur petitih. Lompatan kecil mulai melayari persil-persil kemustahilan. Ada yang menderam di bawah perisai cakrawala, ada yang mendengkur dengan roti dan keju di kepalanya. Sepintas seperti mengarifkan budaya mimpi, tapi ulurannya tak juga menepi di depan pintu yang berongga.
Bisu ... dan tetap khayali. Itulah reaksi dari sahabat alam yang sering disebut komplemen kopi mistis olehnya. Antara memungkinkan dan kemungkinannya yang tak luput dari hal-hal interniran. Entahlah ... saat ini saja, esok, lebih-lebih bisa mengaktualkan kata seterusnya.
Sukabumi, 18 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H