Lisanmu masih labil, "Nona"! Ketangguhannya masih bisa dituai oleh resolusi jelak di bulu hidungmu dengan memperkaya beban di telinga kirimu. Berlebihan jika labiumku harus menggeliang untuk mendakwa kepada takdir. Untung saja hujan itu luruh di sini, jadi tak sempat menenggelamkan tulang pundakmu yang repih.
Tak perlu berdiplomasi dengan kesedihan. Hariku sudah terlalu muak untuk berkencan dengan air mata ecek-ecekmu. Bilang saja, selagi langit itu belum gelap dan ketulusannya belum terhantam oleh kepura-puraanmu. Meski namamu sudah termaktub di dalamnya, bukan hal yang janggal jika harus ditinggalkan oleh pemiliknya.
Kelemahanku adalah peribahasa untuk mengevaluasi langkah hatimu. Jika iktikadnya pandai bepergian dengan segumpal kebekuanku yang tak kunjung usai, maka darahku akan selalu bersirkulasi di dalamnya. Namun, lambat-laun ritme kebosanan itu mulai mengakar ke dalam matra liarmu. Hingga kini, kelingkingmu sudah mulai mengerut dan tak mampu untuk kutatap kembali.
Pergilah ... sampai sayap-sayap kebebasanmu mulai tergerai. Mungkin dengan demikian tawamu bisa terbentuk di petang ini. Lalu, doa-doa sederhana akan sedikit melantun sebelum mimpi itu gosong. Semata untuk mengupahi semua kekuranganku yang saat ini masih menyumsum di dalam benakmu.
Sukabumi, 16 Maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H