Aku tahu ....
Di balik horornya sesobek lamunan, ada runtuhan doa dan harapan untuk bekal anak-anakmu di petang nanti. Meski hujatan keringat peluh masih rajin menyemir paras keikhlasanmu selama berpuluh-puluh episode. Namun, hari-hari itu mampu kau ajak bergurau demi menyempurnakan sejaras tawa yang masih disederhanakan oleh kata-kata.
Ketika atap bumi mulai menghitamkan tanah, legendamu sedari pagi buta sudah terakumulasi. Tapi tidak berlaku untuk sebuah keletihan yang kerap kau samarkan bersama nyanyian syukur. Di mana letak kesenian hati yang konkret adalah berpapasan dengan senyuman tulus mereka yang kau sebut "Keluarga".
Langkah dan denyutmu terombang-ambing di antara perilaku dunia. Sesekali terhibur dengan sejumput pertanyaan polos yang ingin menghamuni kedamaian, kesyahduan, pun keceriaan nuranimu yang pura-pura.
Sedemikian memunjung rasa dan tanggung jawabmu. Hingga kedewasaan pun belum bisa melunasi kasihmu yang telah mendarahi hidupku selama ini. Semoga jiwa dan ragamu selalu ada dalam lindunganNya, agar embusan napas dan cita-citaku tak pernah ditertawakan oleh kesendirian.
Sukabumi, 22 Februari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H