Sebagai mahasiswa program MBKM Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) Batch 2 dari provinsi asal Kalimantan Selatan ke Universitas Jember, salah satu universitas yang ada di Jawa Timur, tepatnya di Kabupaten Jember, saya sering mendengar kata "Pandalungan" baik dari Dosen saat mengikuti perkuliahan, atau teman-teman Universitas Jember ketika sedang bercengkrama. Mulanya saya tidak mengetahui sama sekali apa itu "pendalungan" hingga suatu saat setelah pulang Modul Nusantara pada bulan pertama, teman sekamar saya menceritakan apa yang dimaksud dengan "pandalungan".
    Secara singkatnya dia menceritakan "Pandalungan" dari apa yang ia dapat dari penjelsan Dosen Pembimbing Lapngan-nya, sebagai suatu percampuran dua budaya dari dua suku yang ada di Jember, yakni Jawa dan Madura. Kemudian pemahaman terkait "Pandalungan" ini semakin diperkaya dengan mengikuti kegiatan Modul Nusantara Refleksi 4 dengan Narasumber Gus dan Ning Jember. Pandalungan disebutkan sebagai kebudayaan yang identik dengan wilayah Tapal Kuda, yakni kawasan di Jawa Timur yang memliliki lekukan seperti ladam atau kasut besi kaki kuda (Ayu Sutarto, 2006).
    Ayu Sutarto, peneliti tradisi Universitas Jember dalam makalahnya yang disampaikan dalam pembekalan Jelajah Budaya tahun 2006 menyebutkan bahwa secara budaya yang disebut dengan Pandalungan ialah masyarakat pandalungan atau disebut sebagai masyarakat hibrida, yakni merupakan masyarakat dengan kebudayaan baru sebagai bentuk pencampuran antara dua budaya yang dominan, yakni budaya masyarakat Jawa dan Madura.
    Menurut Prawiroatmodjo (1985: 100) secara etimologis, kata "pandhalungan" berasal dari bentuk dasar bahasa Jawa, yakni dhalung yang memiliki arti periuk besar (Ayu Sutarto, 2006). Berdasarkan pengertian secara simbolik-kultural,nya kata pandhalungan merupakan suatu wilayah yang terdapat beragam kelompok etnis dengan latar belakang budaya berbeda dan meimbulkan reaksi tipologi kebudayaan baru yang masing-masing mengambil unsur budaya yang membentuknya.
    Walau istilahnya "pandhalungan" ialah berbicara/berkata tanpa adabnya/sopannya, akan tetapi dalam konteks perilaku sehari-hari, masyarakat pandalungan merupakan masyarakat yang sangat menghargai akan perbedaan dan keragaman yang membuat kawasan ini menjadi wilayah yang hampir tidak pernah mengalami konflik antarkelompok etnis.
    Berbicara terkait masyarakat kebudayaan Pandalungan, bagaimana dengan nilai historis dari Pandalungan sendiri? Kota Jember sendiri mulanya merupakan wilayah kecil yang sepi dan termasuk ke dalam bagian distrik dari Regenschap Bondowoso (Edy Burgan Arifin, 2012: 28). Masuknya sistem perkebunan partiker dengan corak kapitalisme pada pertengahan abad XIX membawa perubahan-perubahan, khususnya pada tatanan sosial-ekonomi masyarakatnya. Terjadi peningkatan ombak migrasi etnis Jawa dan Madura ke Jember yang masing-masing etnis tersebut membawa kebudayaannya sehingga terjadilah akulturasi kebudayaan, yakni pencampuran dua kebudayaan yang dominan dengan melahirkan kebudayaan baru, dalam konteks pandalungan ialah pencampuran budaya Jawa dan Madura.
    Dari kebudayaan ini adapun produk-produk kesenian masyarakat Pandalungan, diantaranya yakni Musik Patrol, merupakan jenis seni musik dengan intrumen yang berasal dari bambu. Kesenian lainnya ialah Lengger, yakni suatu tarian rakyat yang pada dasarnya memiliki kemiripan dengan tandhak atau tledhek dalam kebudayaan Jawa. Can Macanan Kadduk juga merupakan prosuk kesenian masyarakat agraris Pandalungan yang meruapkan tarian rakyat yang menggambarkan keperkasaan harimau, Can Macanan Kadduk ini memiliki kemiripan dengan kesenian masyarakat Tionghoa, yakni "Barongsai".
Referensi:
Arifin, E. B. (2012). Pertumbuhan Kota Jember dan Munculnya Budaya Pandhalungan. Literasi, 2(1): 28-35.
Sutarto, A. (2006). Sekilas Tentang Masyarakat Pandhalungan. Makalah. Disampaikan dalam acara pembekalan Jelajah Budaya 2006. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.