Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda, yang merupakan hasil keputusan Kongres Pemuda kedua di Jakarta pada 27-28 Oktober 1928, menandai bersatunya pemuda Indonesia dalam perjuangan menuju kemerdekaan. Semangat persatuan ini menjadi pendorong bagi rakyat Indonesia, sehingga 17 tahun setelahnya, Indonesia berhasil meraih kemerdekaan dan cita-cita Indonesia Raya terwujud. Kini, setelah 96 tahun berlalu dan 79 tahun Indonesia merdeka, penting untuk merefleksikan kembali semangat Sumpah Pemuda agar tetap relevan dalam mewujudkan Generasi Indonesia Emas 2045.
Setiap tahun, tanggal 28 Oktober menjadi momen bagi kita untuk mengenang dan merefleksikan maknaDeklarasi yang dicanangkan pada tahun 1928 ini bukan sekadar ucapan, melainkan sebuah ikrar suci dari pemuda dari berbagai daerah untuk bersatu, melupakan perbedaan demi Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berdaulat. Peringatan Sumpah Pemuda menjadi relevan bagi generasi muda saat ini, khususnya di tahun 2024, sebagai pengingat bahwa semangat persatuan, pengorbanan, dan kebersamaan adalah fondasi yang abadi dalam menghadapi berbagai tantangan bangsa. Di era globalisasi dan digitalisasi, kita dihadapkan pada tantangan baru, di mana budaya luar dengan mudah memengaruhi cara hidup dan pandangan pemuda Indonesia.
Dalam arus globalisasi ini, semangat persatuan yang terkandung dalam Sumpah Pemuda harus tetap menjadi prioritas. Persatuan bukan berarti mengesampingkan keberagaman budaya, suku, dan agama, tetapi merangkulnya sebagai kekayaan yang memperkuat identitas bangsa Indonesia.
Pesan penting bagi pemuda masa kini adalah menjaga keseimbangan antara keterbukaan terhadap kemajuan zaman dan kepekaan terhadap nilai-nilai lokal. Di tengah dunia digital yang penuh informasi, pemuda harus mampu memilah informasi yang relevan dan positif untuk diadopsi, sambil tetap menghargai dan mempertahankan budaya serta tradisi lokal yang merupakan jati diri bangsa.
Pemuda yang Bermartabat
Semua ini dilakukan untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan, serta agar kita berdiri sebagai bangsa yang bermartabat dan setara dengan negara-negara lain. Warisan Soekarno yang menekankan nasionalisme di atas ikatan primordial seperti suku, agama, dan ras telah mengalami kemunduran di era pemerintahan setelahnya hingga kini.
Sentimen SARA dan narasi intoleran, termasuk hate speech di media sosial, semakin mewarnai kehidupan berbangsa. Terlebih lagi, menjelang Pilkada Serentak, isu putra daerah menjadi semakin mencolok. Terkesan, daerah-daerah seakan tidak berada dalam bingkai NKRI yang berlandaskan Pancasila. Kondisi ini menunjukkan semakin memudarnya semangat nasionalisme di kalangan generasi muda, yang seharusnya diikrarkan dalam Sumpah Pemuda 96 tahun yang lalu. Bangsa ini seolah mengalami kemunduran mental dan spiritual yang dulunya sangat luhur dan menjadi kunci berdirinya negara ini.
Bangsa ini kehilangan jati diri dan ruh kebangsaan, yang kini berorientasi pada prinsip-prinsip ideologi asing dalam sistem liberal dan ekonomi kapitalis. Lalu, di mana rasa gotong royong, toleransi, dan kepedulian kita terhadap sesama dan lingkungan? Di mana rasa guyub rukun kita sebagai bangsa yang mengedepankan ekonomi kerakyatan yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa?
Mari kita rajut kembali kebersamaan dengan merefleksikan sejarah masa lalu, sebagai langkah ke depan untuk membangun kembali karakter bangsa. Kita harus tetap menjadi bangsa yang memiliki ruh Keindonesiaan.
Tantangan Perubahan Dunia yang Drastis
Saat ini, kita berada dalam fase perubahan yang sangat cepat berkat kemajuan teknologi. Teknologi telah membuka akses ke hal-hal yang tak terbayangkan di era 20-an, memungkinkan informasi menyebar dengan cepat dan mudah. Dengan satu sentuhan, informasi bisa mencapai seluruh dunia; kita bisa menghimpun dukungan lewat media sosial; dan pertemuan daring bisa diadakan tanpa kehadiran fisik.