Mohon tunggu...
Delvis Sonda
Delvis Sonda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Manuver Politik Jokowi: Demokrasi Diambang Kehancuran!

29 Agustus 2024   04:37 Diperbarui: 29 Agustus 2024   04:37 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: eksepsionline.

Presiden Jokowi, yang dikenal dengan pendekatan populisnya, sebelumnya dianggap sebagai perwakilan rakyat biasa yang berjuang melawan dominasi elite politik. Kini, Jokowi terlihat membentuk aliansi dengan berbagai tokoh elite, termasuk mantan rival politiknya, Prabowo Subianto. Para pendukung Jokowi melihatnya sebagai sosok yang sederhana dan berbeda dari elite politik yang sering kali dianggap korup dan tidak transparan.

Selama masa menjadi presiden, Jokowi dikenal menerapkan pendekatan teknokratik dalam pembangunan, khususnya infrastruktur, dengan melibatkan perusahaan-perusahaan negara alih-alih sektor swasta. Meski langkah ini menambah utang negara, Jokowi percaya bahwa investasi infrastruktur adalah kunci untuk kemajuan ekonomi.

Berbeda dengan presiden sebelumnya, Jokowi tidak memiliki partai politik sendiri. Walaupun didukung oleh PDI-P, ia tidak terikat langsung pada partai tersebut dan lebih mengandalkan dukungan relawan serta kerja sama dengan berbagai partai untuk membangun basis dukungannya. Hal ini memberinya dukungan mayoritas hampir mutlak di pemerintahan.

Jokowi juga menghadapi kritik terkait penggunaan kekuasaan, dengan tuduhan bahwa ia semakin membatasi kebebasan berbicara dan menggunakan media sosial untuk menciptakan citra positif tentang pemerintahannya. Ada kekhawatiran bahwa kebijakan-kebijakan yang diambilnya, termasuk revisi undang-undang, bertujuan untuk melindungi elite politik dan ekonomi serta mempersempit ruang kebebasan.

Namun di penghujung masa jabatanya, Demokrasi Indonesia kini menghadapi ancaman serius yang belum pernah terjadi sejak jatuhnya rezim otoriter Presiden Suharto pada 1998. Menurut analis, unjuk rasa besar-besaran yang dipimpin mahasiswa minggu lalu menunjukkan bahwa rakyat mulai bersuara dan tidak lagi diam. Upaya untuk memperlemah lembaga-lembaga demokratis tampaknya dilakukan untuk konsolidasi kekuasaan, nepotisme, dan pembentukan dinasti politik, yang bertujuan agar Presiden Joko "Jokowi" Widodo tetap memiliki pengaruh setelah masa jabatannya berakhir pada 20 Oktober.

Protes yang dikenal dengan sebutan "Peringatan Darurat" pada 22 Agustus lalu dipicu oleh rencana parlemen untuk merevisi Undang-Undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Kritikus menilai revisi ini dirancang untuk mempermudah putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, dan politisi pendukung presiden, Prabowo Subianto, memenangkan Pilkada serentak pada 27 November. Revisi ini berusaha membatalkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurunkan ambang batas suara bagi partai politik dalam pencalonan kandidat, yang sebelumnya 25 persen menjadi antara 6,5 persen hingga 10 persen, tergantung wilayah.

Putusan MK juga mengubah persyaratan usia kandidat, membolehkan mereka untuk berusia minimal 30 tahun pada saat pelantikan, bukan saat penetapan pasangan calon. Ini membuka peluang bagi Kaesang, yang baru akan berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024, untuk mencalonkan diri sebagai wakil gubernur Jawa Tengah.

Namun, sehari setelah keputusan MK, pada 21 Agustus, delapan dari sembilan faksi di DPR yang berada dalam koalisi Prabowo-Jokowi mengadakan rapat mendadak untuk membatalkan keputusan MK dan meratifikasi revisi UU Pilkada. Rencana tersebut memicu protes besar-besaran di berbagai kota di Indonesia pada 22 Agustus. Protes yang awalnya damai menjadi rusuh di beberapa tempat, dan aparat keamanan menggunakan gas air mata serta meriam air untuk membubarkan massa, serta menangkap ratusan pengunjuk rasa.

Sebagai hasil dari tekanan publik, DPR membatalkan rencana revisi dan memutuskan Pilkada akan tetap mengikuti keputusan MK, yang berarti pintu untuk pencalonan Kaesang tertutup. Respon terhadap DPR kali ini lebih keras dibandingkan respons terhadap keputusan MK tahun lalu yang menurunkan batas usia minimal kandidat presiden dan wakilnya, memungkinkan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Gibran, yang maju bersama Prabowo pada pemilihan presiden 14 Februari, akhirnya terpilih dengan suara 58 persen.

Menantu Jokowi, Bobby Nasution, yang kini menjabat sebagai wali kota Medan, juga akan bertanding sebagai calon gubernur Sumatra Utara dalam Pilkada November mendatang. protes kali ini dipicu oleh kemarahan publik yang menggebu sejak pemilihan presiden. Meskipun polarisasi politik yang sebelumnya intens telah mereda, frustrasi publik kini mencapai puncaknya.

Selain itu, lanskap politik dalam negeri menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Golkar baru-baru ini memilih Bahlil Lahadalia, seorang loyalis Jokowi, sebagai ketua umum baru, yang dianggap sebagai bagian dari strategi Jokowi untuk mempertahankan pengaruhnya dalam pemerintahan mendatang. Menjelang akhir masa jabatannya, perhatian kini beralih ke Prabowo Subianto, yang menepis kekhawatiran akan campur tangan Jokowi dalam pemilu, tetapi memperingatkan tentang bahaya campur tangan asing dengan mengaitkan situasi saat ini dengan kerusuhan yang mengakhiri era Soeharto pada puncak krisis keuangan 1998.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun