Mohon tunggu...
Dhelano Islami
Dhelano Islami Mohon Tunggu... Mahasiswa - universitas airlangga

saya suka bermain basket

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perbedaan Antara Hidup di Era Jokowi dan Susilo Bambang Yudhoyono

4 Desember 2024   00:50 Diperbarui: 4 Desember 2024   00:51 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kehidupan di Indonesia pada era dua pemimpin berbeda,  Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi), memberikan dampak yang sangat besar bagi masyarakat. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dilakukan analisis terhadap berbagai indikator ekonomi dan kebijakan yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. (saran aku, ini dibedain aja paragrafnya, jadi paragraph baru) Salah satu perbedaan paling menonjol antara kedua era tersebut adalah kebijakan penetapan harga bahan bakar minyak (BBM). Selama era SBY, pemerintah sering kali mempertahankan harga bahan bakar tetap rendah meskipun ada tekanan inflasi global. Kebijakan ini menjaga harga bahan bakar tetap rendah dan stabil, yang berdampak langsung  pada biaya transportasi dan harga komoditas. Bahan bakar yang terjangkau memudahkan masyarakat untuk beraktivitas, meningkatkan akses terhadap kebutuhan sehari-hari, dan memberikan dampak positif pada sektor ekonomi kecil dan menengah yang bergantung pada biaya transportasi yang rendah (Mayasari, 2009).

Di sisi lain,  meskipun ada upaya untuk mengurangi subsidi bahan bakar, harga bahan bakar cenderung lebih fluktuatif pada masa pemerintahan Jokowi. Kebijakan ini diusung dengan tujuan untuk menyediakan dana bagi bidang lain seperti pembangunan infrastruktur. Namun, hasilnya menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang merasakan dampak negatif dari kenaikan biaya hidup. Fluktuasi harga bahan bakar membuat biaya transportasi  tidak dapat diprediksi dan meningkatkan harga barang dan jasa.

Selain itu, perbedaan lainnya terlihat dalam pengelolaan status honorer dan pegawai negeri sipil (PNS). Di era SBY, salah satu langkah penting adalah penarikan pegawai honorer menjadi PNS. Kebijakan ini tidak hanya memberikan kepastian kerja, tetapi juga menjamin hak-hak pekerja (Nugraha, 2017). Dengan status sebagai PNS, honorer mendapatkan gaji tetap dan berbagai tunjangan, yang secara signifikan meningkatkan daya beli mereka dan memberikan rasa aman dalam pekerjaan. Hal ini juga berkontribusi pada stabilitas sosial, karena banyak keluarga yang bergantung pada pendapatan tetap dari PNS. Sebaliknya, di masa Jokowi, meskipun ada beberapa program untuk honorer, belum ada kebijakan besar yang mampu mengubah status mereka secara massal. Banyak honorer yang tetap berjuang untuk mendapatkan status yang lebih baik dan tidak jarang menghadapi ketidakpastian dalam pekerjaan mereka. Ketidakpastian ini menciptakan kekhawatiran bagi banyak orang, terutama di tengah biaya hidup yang terus meningkat.
 
Kestabilan harga sembako juga menjadi indikator penting dalam menilai kemakmuran masyarakat. Selama era SBY, meskipun ada inflasi yang terjadi, pemerintah berupaya untuk menjaga harga sembako tetap stabil melalui intervensi pasar dan pengaturan distribusi. Kebijakan ini membuat masyarakat merasa lebih tenang dalam memenuhi kebutuhan dasar, dan meskipun ada tantangan, secara umum masyarakat dapat mengandalkan kestabilan harga sembako. Di era Jokowi, meskipun terdapat berbagai program untuk menstabilkan harga sembako, fluktuasi harga sering kali terjadi, terutama menjelang momen-momen tertentu seperti bulan Ramadan. Ketidakpastian harga ini menambah beban masyarakat, yang harus mengatur anggaran mereka dengan cermat agar tetap dapat memenuhi kebutuhan pokok (Permatasari et al., 2024).

Dalam kesimpulannya, ketika membandingkan kemakmuran di era SBY dan Jokowi, banyak faktor yang perlu dipertimbangkan. Meskipun Jokowi memiliki fokus yang lebih besar pada pembangunan infrastruktur dan reformasi yang berorientasi pada jangka panjang, dampak langsungnya terhadap kesejahteraan masyarakat masih perlu dievaluasi lebih lanjut. Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa era SBY memberikan nuansa kemakmuran yang lebih terasa bagi masyarakat pada saat itu, terutama dalam aspek harga BBM, status honorer, dan kestabilan harga sembako. Namun, tantangan dan perubahan zaman mengharuskan kita untuk terus berpikir kritis dan berharap bahwa kebijakan yang ada dapat membawa kemakmuran bagi semua lapisan masyarakat di masa depan. Menghadapi situasi saat ini, sangat penting bagi pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan yang ada, mengambil pelajaran dari masa lalu, dan terus berupaya menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan bagi seluruh rakyat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
 
Mayasari, L. D. (2009). BAHASA POLITIK PRESIDEN DALAM BERITA KENAIKAN BBM PERIODE MEGAWATI DAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).
Nugraha, F. K. (2017). Model Birokrasi Parkinson Dalam Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Jurnal Transformative, 3(1), 53-65.
Permatasari, H. I., Sayuti, M. N., & Jaki, A. (2024). Dampak Kenaikan BBM Tahun 2022 Terhadap Pedagang Sembako di Pasar Besar Palangka Raya. Islamic Economics and Business Review, 3(1).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun