sumber : http://www.campusguide.co.id/selang-lambung-buatan-anak-ui-cegah-kesalahan-fatal-bagi-pasien/ Di mata orang awam, inovasi yang diciptakan oleh Sigit Mohammad Nuzul dan Adeline Sthevany M. mungkin terlihat sangat sederhana. Dua mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI) ini berhasil membuat inovasi berupa modifikasi selang medis yang walaupun sederhana namun sangat signifikan manfaatnya. Alat itu bernama Safety Nasogastric Tube, yakni selang yang digunakan untuk mengalirkan makanan cair ke lambung pada pasien yang terpaksa mengonsumsi makanan melalui selang. Namun, pemasangan selang lambung ini dapat menjadi berisiko sangat besar hingga berujung pada kematian apabila terjadi kesalahan dalam pemasangan.
Kesalahan pemasangan selang lambung terjadi apabila terjadi kesalahan masuk selang akibat salah pilih saluran di percabangan faring. Di percabangan inilah sering terjadi “salah pilih”. Selang yang seharusnya melalui esofagus menuju lambung malah masuk ke saluran pernapasan.
Sigit yang merupakan mahasiswa “baru” FIK UI memiliki pengalaman serupa ketika ia dulu praktikum di salah satu rumah sakit di Palu. Sigit yang sebelumnya mengenyam pendidikan di Akademi Keperawatan Palu ini mendengar kabar bahwa salah satu pasien rumah sakit tersebut menjadi korban kesalahan pemasangan selang lambung. Setelah diketahui bahwa selang masuk ke paru-paru, kondisi korban menurun hingga pada akhirnya ia meninggal. Kesalahan pemasangan selang lambung ini, menurut Sigit, sering terjadi dan hal ini dapat berakibat fatal bagi pasien. “Hal ini dapat melukai paru-paru dan kalau itu terjadi, tubuh pasien dapat mengalami cidera dan trauma, imunitas menurun, sehingga dapat merambat menjadi infeksi hingga kematian,” ungkap Sigit. Masalahnya, di Indonesia belum ada alat untuk mendeteksi apakah pemasangan selang lambung telah dilakukan dengan tepat atau tidak. “Selama ini hanya memakai intuisi saja. Lihat keadaan pasien, kalau tidak ada respons berupa rasa sakit, berarti pemasangan dilakukan dengan benar,” Sigit menjelaskan. Namun, pada pasien yang tidak sadar ketika dilakukan pemasangan, misalnya pasien koma, tidak akan ada respons apabila selang salah masuk sehingga kesalahan berlanjut pada penyaluran makanan ke paru-paru. Peristiwa naas yang disaksikan Sigit terus terngiang-ngiang di memori bahkan hingga kini, ketika ia mendapat beasiswa studi S1 di FIK UI. “Ketika saya melihat poster pengumuman Lomba Karya Inovasi Mahasiswa (LKIM) UI saya langsung tertarik untuk ikut dengan ide modifikasi selang lambung ini,” tuturnya. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, Sigit pun mencari rekanan dalam membuat modifikasi selang lambung dan orang tersebut adalah Sthevany. Alat yang mereka buat pun sangat sederhana. Sigit dan Vany melakukan modifikasi pada ujung dan pangkal selang lambung agar dapat menjadi indikator benar atau tidaknya pemasangan alat tersebut. Pada pangkal selang, Sigit menempelkan kantong klip obat sebagai indikator adanya udara masuk ke selang. Pada ujung selang, Sigit membuat lubang udara sebanyak 10 buah dengan jarak 3 cm antara lubang. Lubang ini berfungsi untuk menangkap udara. Apabila selang salah masuk ke saluran pernapasan, ada udara yang tertangkap sehingga plastik klip di pangkal akan kembang-kempis. Cara kerja alat ini pun tidak banyak mengubah prosedur pemasangan selang lambung. Pertama, selang dimasukkan melalui hidung hingga percabangan faring, kemudian dilanjutkan untuk memasukkan selang sedalam 2 cm untuk mendeteksi kesalahan pemasangan. Apabila plastik klip kembang-kempis, maka selang harus ditarik kembali ke percabangan untuk kemudian dimasukkan ke saluran yang tepat, yakni esofagus. Sebenarnya, di luar negeri sudah ada alat untuk mendeteksi kesalahan ini. Di Singapura misalnya, alat pelacak dipasangkan di ujung selang yang kemudian posisinya dapat dilihat di monitor. Namun, alat ini memerlukan biaya yang tidak sedikit karena menggunakan teknologi yang lebih mutakhir yang memerlukan alat eksternal tambahan. Safety Nasogastric Tube hasil modifikasi Sigit unggul dalam beberapa hal. Alat ini dapat mencegah kesalahan pemasangan selang secara real-time karena langsung terlihat di plastik klip indikator. Oleh karena itu apabila selang salah masuk pun, selang belum masuk terlalu dalam sehingga tidak melukai paru-paru. Selain itu, alat sederhana ini tidak memerlukan alat bantuan tambahan seperti monitor dan sensor sehingga tidak memerlukan banyak perubahan dalam cara pemasangan dan juga lebih murah. Berkat berbagai kelebihan selang lambung inilah Sigit akhirnya keluar sebagai Juara 1 LKIM UI dan karyanya didaftarkan untuk mendapatkan hak paten. Sigit mengakui bahwa ia berharap karyanya dapat diproduksi secara massal sehingga dapat berkontribusi bagi masyarakat. Di wilayah terpencil Indonesia di mana tak ada teknologi yang mumpuni untuk mendeteksi kesalahan pemasangan selang lambung, alat buatan Sigit dapat menjadi solusi. Namun, ia berharap bahwa kelak produk ini dapat diterima tidak hanya di Indonesia, namun juga Asia Tenggara bahkan Jepang dan Tiongkok sekalipun. Kini Sigit masih menunggu proses pembuatan hak paten sambil mencari perusahaan penghasil alat medis yang mau memproduksi Safety Nasogastric Tube buatannya. Oleh: Yuliniar Lutfaida
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H