Sore ini saya menonton sebuah berita di televisi yang dipenuhi dengan berita tentang arus mudik lebaran tahun 2019. Sebuah tradisi yang sudah melekat di hati masyarakat Indonesia.Â
Tahun ini, Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi dalam sebuah berita mengatakan bahwa akan ada sekitar 22.5 Juta masyarakat yang akan melakukan mudik lebaran. Sebuah jumlah yang banyak. Â Jutaan orang itu akan memadati jalan-jalan raya termasuk juga jalan tol yang beberapa kurun terakhir dikeluhkan tarifnya yang semakin mencekik.
Awalnya saya mengira bahwa adanya kenaikan tarif Tol akan berdampak kepada berkurangnya pemudik yang menggunakan jalan 'bebas hambatan' tersebut. Tak disangka ternyata perkiraan saya itu salah besar. Hari ini, tepat di H+3 Lebaran, Tol Cikampek mengalami kemacetan sejauh 14 KM.Â
Saya tidak bisa membayangkan berapa lama para pemudik akan terjebak kemacetan sepanjang itu. Tentu sebuah penantian yang panjang. Bak seorang jomblo yang menanti datangnya sang jodoh.Â
Saya jadi berpikir berapa juta orang yang ketika menunggu di dalam mobil sambil mengumpat, 'Gila! Bayar mahal tetap saja macet. Tahu gini mendingan lewat jalur biasa saja.' atau umpatan yang lebih ekstrem lagi yaitu umpatan dari seorang oposisi sejati yang ikut terjebak macet.Â
Tentu Anda bisa membayangkan bagaimana ketika seorang opisisi sejati terjebak macet di Jalan Tol yang tarifnya dinaikkan oleh pemerintah. Saya pribadi saat menulis ini sedang membayangkan Fadli Zon ada di barisan kemacetan tersebut. Tentu dia akan dengan sigap membuat sebuah kicauan di akun Twitternya yang selanjutnya bisa akan menjadi perdebatan panjang lagi membosankan bagi warganet pun bagi Cebong dan Kampret.
Kemacetan panjang di jalan bebas hambatan tersebut setidaknya membuktikan bahwa meskipun tarif tol mahal, tetap saja masyarakat masih mengandalkan infrastruktur andalan pemerintah ini. Ibarat harga Bahan Bakar naik, tetap saja masyarakat akan membelinya. Hal inilah yang sangat dipahami oleh Manajeman Pengelola Jalan Tol yang saat ini lebih banyak dikuasai oleh pihak Swasta daripada Jasa Marga.Â
Mereka sangat paham bahwa Jalan Tol sudah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat Indonesia. Kalimat "Jalan Tol Hanya untuk Orang Kaya" tidaklah berlaku sebab masyarakat Indonesia sudah menjadi masyarakat yang sangat Komssumtif. Ibarat dunia dagang, Indonesia sudah menjadi sasaran empuk bagi produsen. Terlebih tak sedikit rakyat yang mementingkan gengsi sehingga pura-pura kaya demi menjaga image.
Begitulah fakta yang terjadi saat ini. Rakyat dijadikan konsumen sedangkan Pemerintah yang semakin gencar melelang Infrasturktur ke pihak asing menjadi produsen yang tentu menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama. Kalau sudah begini, jargon dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat hanyalah omong melompong belaka.
Namun demikian, satu hal yang patut disyukuri bahwa rakyat Indonesia menunjukkan kesabarannya. Semahal apapun jalan tol, dan semacet apapun, rakyat hanya akan mengumpat. Tidak lebih. Lah memangnya mau bagaimana lagi?Â
Tidak mungkin juga meminta uang yang sudah dibayarkan untuk dikembalikan sambil berkata,"Balikin uang gue. Njir lah. Sudah bayar mahal tetap saja macet. Katanya jalan bebas hambatan. Dasar pala loe peyang..."