Siapa namamu?
Nama saya Marsinah, Tuan. Seorang buruh pabrik  arloji. Saya bekerja dari pagi hingga petang. Meskipun kerja di  pembuatan arloji, rasanya seperti waktu berputar begitu lambat. Kadang  pulang sampai petang untuk lembur. Tapi sayang, uang lembur tak  seberapa. Meski demikian, saya bersyukur karena masih bisa makan.
Apakah kau sedang mengeluh dengan keadaanmu?
Bukan  hanya saya. Tapi teman-teman buruh lain pun sejatinya mengeluh. Seperti  kata Sapardi di puisinya, "Kami ini tak banyak kehendak, sekadarhidup  layak, sebutir nasi." Namun ternyata rasa lapar tak cukup untuk bisa  membuat teman-teman saya berteriak menuntut kelayakan. Mereka lebih  takut ketika Bos pabrik mengancam memecat jika terlalu menuntut ini-itu.  Padahal kami hanya ingin mendapat gaji yang pantas. Pantas sesuai  dengan waktu yang terampas. Maksud saya berbicara seperti ini adalah  ingin mengatakan bahwa derita kami sudah naik seleher, ditindas sampai  di luar batas.
Kau ternyata pandai bicara. Kata-katamu itu membuatku merinding.
Maaf,  Tuan. Tapi itu bukan kata-kata saya. Saya hanya mengutipnya dari  seorang penyair kerempeng yang cacat mata sebelahnya. Kalau tidak salah  namanya Wijhi Thukul. Lagipula, buruh seperti saya ini mana bisa  berbicara yang nyastra. Yang ada hanya berbicara dengan hati.  Mengutarakan kegelisahan yang berasal dari perut lalu mengalir ke kepala  hingga meluber lewat mulut. Kami kadang berpikir, setidaknya bisa  menjadi sesuatu yang berarti dan sesudah itu mati.
Kali ini kau mengutip kata-kata Chairil Anwar?Â
Benar,  Tuan. Dia adalah penyair yang saya kagumi. Saya ini buta huruf.  Kata-kata itu saya dengar dari radio. Katanya, si Binatang Jalang itu  akan jadi pahlawan dalam dunia sastra. Kau ingin jadi Pahlawan juga?
Ah, Tuan ini pandai bercanda. Buruh seperti saya memang mau jadi  pahlawan apa? Pahlawan pergerakan demonstran? Yang ada hanya akan  diburu. Dikejar sampai liang lahat oleh aparat. Lagipula---kali ini saya  kutip perkataan Galileo---"Tak berbahagialah negeri yang memerlukan  pahlawan." Seseorang bisa disebut Pahlawan dan dikenang setelah ia  meninggal lalu mayatnya dikubur di taman makam Pahlawan. Sedangkan  saya?Bahkan sering gelisah karena takut mayat saya tak pernah  diketemukan oleh sanak-saudara. Membusuk begitu saja dengan tanah  kembali ke Illah. Lagipula, saya lebih suka dikenang lewat puisi  Sapardi. Betul kata dia, dan barangkali sama dengan apa yang ada di  pikiran, Tuan, bahwa saya suka merebus kata hingga mendidih lalu menguap  ke mana-mana.
 Lalu, sekarang kau sedang berada di mana, surga atau neraka?
Tuan  ini apakah malaikat? Kalau iya, jangan usir saya ke dunia lagi. Saya  tak tahu apakah ini surga atau neraka. Yang saya tahu hanya bahwa dunia  di luar sana adalah neraka bagi saya. Di sana pula saya disekap, diikat  di kursi, diacak-acak selangkangannya, dan dipukul dengan besi batangan.