Asap kejenuhan masih saja mengepul dari secangkir kopi yang menggigil dalam dingin. Sebatang candu kupilin-pilin, sesekali kuisap dan mengepullah asap penuh pertanyaan ke udara. Pertanyaan yang sedang kucari jawabannya malam ini. "Apakah amalku sudah cukup banyak? Aku belum naik haji, tak jua jihad di medan perang, bahkan masih sering membantah orang tua. Apakah amalku sudah cukup banyak untuk bisa kutukarkan dengan surga-nya?"
Sebuah pertanyaan sangat besar lengkap dengan deretan tanda tanya. Suatu ketika diri ini merasa telah melakukan banyak ibadah dan kebaikan, tapi di waktu lain, begitu banyak pula dosa yang dilakukan. Lantas, apakah amal itu masih cukup untuk setidaknya menebus segala dosa yang pernah diperbuat?
***
Suara jangkrik dan binatang malam terdengar memuakkan. Seoalah mereka sedang menertawakanku. Aku yang diam. Aku yang bimbang. Aku ... yang entah....
"Assalamualikum. Kamu sedang apa, Le. Kulihat dari tadi melamun."
"Waalaikaumsalam, Mbah. Ada yang sedang kau pikirkan, Mbah. Bukan! Bukan sekadar dipikirkan, tapi juga sebuah ketakutan, Mbah."
"Makanya cepat cari pendamping hidup, Le. Biar kamu tidak sendirian memikirkan segala sesuatunya." Mbah Guru tertawa kecil. Nampaknya Beliau sedang menyindirku yang sampai detik ini masih saja belum menikah.
"Ah, Mbah ini ada-ada saja. Boleh tanya sesuatu, Mbah?"
"Kalau mau tanya, ya tanya saja, Le. Insyaallah mbah jawab semampunya."
Kuhela napas panjang. Sebenarnya ragu untuk menanyakan hal ini. Tapi kalau tidak ditanyakan, bisa jadi aku perlahan mulai gila memikirkannya.
"Jadi begini, Mbah. sebenarnya ada pertanyaan yang sedang menyelimuti. Apakah amalku sudah cukup banyak? Itulah inti dari pertanyaanku, Mbah. Aku ini orang yang masih awam dalam hal ilmu agama. Sebab itulah, kadang merasa tidak banyak dakwah yang bisa dilakukan, juga tak sekaya Abdurahman bin Auf, sebab itu pula merasa belum banyak sedekah yang bisa diamalkan. Lantas, sudahkah amalku lebih tepatnya pahalaku cukup banyak sampai saat ini? Terkadang ketakutan selalu saja hinggap, Mbah. Ketakutan akan timbangan amal di akhirat nanti."
Suasana hening. Mbah Guru terlihat terdiam sejenak. Dikeluarkan sebatang rokok, dinyalakan lalu dihisap.
"Pertanyaan yang sudah sering mbah dengar, Le. Mbah pun tak akan bisa menjawab "Sudah" atau "Belum". Sebab mbahmu ini tidak akan pernah tahu seberapa banyak amal orang lain. Barangkali cerita dari teman mbah ini bisa sedikit membantu kegundahan hatimu. Cerita ini konon katanya adalah cerita nyata, tapi mbah juga tidak tahu nyata atau tidaknya sebab hanya dengar dari seseorang. Namun, nyata atau tidak, mbah rasa akan ada hikmah yang bisa diambil dari dalamnya."
Mbah Guru memulai ceritanya, "Jadi begini ceritanya...."
//
Suatu ketika ada seorang nenek yang taat berjamaah sholat Dzuhur di sebuah masjid. Setiap selesai melaksanakan sholat, dia selalu menyempatkan diri untuk membersihakan halaman masjid dari daun-daun kering yang berserakan. Setiap hari seperti itu. Dengan tubuh yang sudah renta, terik siang yang membara, juga dengan segala ketulusan hatin, nenek itu nampak senang dan ikhlas.
Hingga pada akhirnya, takmir masjid tidak tega melihat nenek itu membersihakan halaman masjid setiap hari. Takmir pun berinisiatif untuk meminta bantuan seseorang agar membersihkan halaman masjid. Hal ini bertujuan supaya nenek itu tak lagi kerepotan.
Suatu hari, nenek tersebut terkaget-kaget karena halaman masjid yang sudah bersih. Tak ada lagi selembar daun yang bisa dipungutnya. Dia pun terlihat bersedih dan menangis. Takmir masjid bingung dengan keadaan ini. Bukankah seharusnya dia senang karena tidak lagi harus membersihakan halaman masjid? Tapi kenapa justru bersedih sampai menitikan air mata? Ketika ditanya mengapa nenek itu menangis, beginilah ia menjawabnya: "Jika kalian iba melihatku, maka biarkanlah aku membersihkan segala kotoran di sini. Termasuk dedaunan yang berserakan."
Takmir masjid terlihat bingung dengan apa yang dikatakan nenek tersebut. Akhirnya, dipenuhilah permintaan tersebut agar nenek tadi tidak lagi bersedih hati. Berganti hari, halaman masjid kembali kotor dengan daun-daun yang berserakan. Nenek itu terlihat senang memungutinya satu per satu. Karena heran, akhirnya salah seorang Kiai di masjid tersebut bertanya perihal kebiasaan nenek tersebut. Lagi-lagi sebuah jawaban yang mengagetkan terlontar: "Aku ini orang bodoh, Pak Kiai. Aku tahu amal-amalku yang kecil itu mungkin tidak benar aku jalankan. Aku tidak mungkin selamat dari hari kiamat tanpa syafaat Kanjeng Nabi. Setiap kali mengambil selembar daun, kusertai dengan mengucap satu Shalawat kepada Rasulullah. Kelak jika aku mati, aku ingin Kanjeng Nabi menjemputku. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa aku telah membacakan shalawat kepadanya."
//
"Begitulah ceritanya, Le. Apa yang bisa kamu ambil dari cerita tersebut?"
Aku hanya diam mendengar pertanyaan dari Mbah Guru. Cerita yang baru saja kudengar masih saja belum bisa kupahami hikmah apa yang ada di baliknya.
"Nampaknya kamu belum paham, Le. Jadi begini. Sekecil apapun amalan seorang hamba, hanya Allah sajalah yang berhak memberikan pahala kepadanya. Seberapa besar pahala yang diberikan pun itu hak mutlak gusti Allah. Jangan sepelekan amalan-amalan kecil. Karena bisa jadi amalan-amalan kecil itu akan memberikan pahala yang besar. Begitu juga jangan sepelekan amalan-amalan yang besar, karena dengan amalan besar itu pula inysaallah Allah akan memberikan pahala yang besar pula. Manusia tidak punya hak untuk menilai juga memberikan penilaian terhadap amalan orang lain.
Toh, yang berhak menilai dan memberikan penilaian terhadap semua mahluk di semesta ini hanya pencipta-Nya, bukan? Bersyukurlah bagi mereka yang diberi kelebihan kekayaan, karena dengan begitu mereka akan lebih mudah dalam bersedekah. Tapi bukankah tak semudah itu bersedekah meski kita banyak harta? Di saat itulah ekkayaan menajdi sebuah ujian yang berat. Begitu juga dengan beruntungnya orang-orang yang diberi banyak ilmu agama oleh-Nya, karena dengan ilmu itu maka dia akan tahu apa yang harus dilakukan dan tidak harus dilakukan. Tapi bukankah untuk mengamalkan ilmu dalam perbuatan dan juga mendakwahkannya adalah hal yang tak mudah? Semua tergantung niat, Le.Â
Apapun kebaikan yang kamu lakukan, sekecil apapun itu, asalkan dilandasi karena kecintaan kita kepada Gusti Allah, insyaallah Dia akan memberikan balasan yang baik. Bukankah Allah itu tidak akan mendzalimi umatnya? Jadi, mulai sekarang jangan lagi bertanya apakah amalku sudah banyak kepada orang lain. Justru kamu harus tanyakan pertanyaan itu kepada diri sendiri sebagai motivasi agar lebih banyak beribadah dan beramal. Lakukanah segala sesuatu dengan landasan kecintaan kita kepada Sang Maha Cinta. Semoga Gusti Allah selalu menyertai langkah kita. Aamiin."
Mbah Guru berdiri dan menepuk bahuku. Perlahan Beliau mulai meninggalkanku. Sedangkan aku sendiri masih saja diam. Mencoba memahami kata demi kata yang diberikan olehnya.
Dalam diamku yang benar-benar diam, tanpa disadari sebuah rangkaian kata tertata rapi di kertas yang kupegang.
Â
Pada Suatu Ketika
Pada suatu ketika
Aku telah merasa berjalan begitu jauh
Sampai-sampai kaki ini
retak-retak.
Tapi di waktu yang lain
Aku masih merasa
berada di tempat
yang sama.
Waktu yang berdetak
Mengawal jejak-jejak
Satu hilang yang lain menggantikan
Entah hitam
Entah putih
Atau juga abu-abu?
Aku tak benar-benar tahu.
Dan aku mendengar
Daun-daun bershalawat
Angin bertasbih
Laut berdzikir
Juga melihat
barisan semut membuat shaf-shaf
bermunajat.
Suatu ketika...
Aku merasa telah menjadi apa-apa
Tapi di waktu lain
Kurasa aku bukan siapa-siapa.
PojokTeras, 2016
Â
Yogya, 16
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H