Mohon tunggu...
Dhea Mayca
Dhea Mayca Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Selalu bersemangat menyambut hari baru, teman-teman baru dan semua yang didapatkan sehari-hari merupakan sarana untuk terus belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ibuku (Mantan) TKI dan Aku Bangga - Part 3 (END)

24 September 2015   17:05 Diperbarui: 24 September 2015   17:05 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Engingeeeenggg……oke saatnya jatah cuti ibu saya habis. Duh padahal kayak baru sebentar ketemunya, eh sudah pisah lagi aja. Mana saya orangnya gak terlalu suka bercerita, cuek dan dingin, waktu yang kita habiskan bersamapun menguap begitu saja. Tahun 2003 selepas SD saya disekolahkan di pesantren, jelas saja saya berontak tidak mau, ngapain juga saya harus disekolahkan di pesantren. Tetapi ayah saya tidak kehilangan akal, diam-diam saya sudah didaftarkan untuk asrama dan sekolah di pesantren.

Pada saat sudah waktunya untuk masuk tahun ajaran baru ayah saya mengajak saya untuk pergi tamasya, saya mah seneng-seneng aja diajak tamasya secara memang dari kecil saya paling suka diajak jalan-jalan. Jengjeeengggggg……..drama kehidupan dimulai, tak tahunya ternyata dibalik adegan tamasya ayah saya mengajak ke pesantren tempat saya sudah didaftarkan. Mulai dari pakaian ganti saya dan segala macamnya sudah dipersiapkan oleh ayah saya. Ada udang dibalik bakwan, pantas saja ayah saya tumben sekali berbaik hati mengajak tamasya, tahu-tahunya saya lalu ditinggal di pesantren. Saya sih gak berontak, kan saya anak baik-baik. Cuma saya memang ngerasa dongkol karena dibohongin dengan dalih tamasya.

Tidak terbayang oleh saya sebelumnya bahwa saya harus hidup di pesantren, tidak bisa bebas bermain-main dan pastinya ada sederet peraturan (yang saat saya sudah besar saya merasakan manfaat dari gemblengan pesantren). Saya dulu anaknya tidak pede, cuek, dingin, masa bodo dengan sekelilingnya dan itu membuat saya susah bergaul dengan teman-teman baru. Belum lagi karena status ibu saya yang TKI membuat saya merasa tambah minder (kalau dipikir-pikir sekarang kenapa saat itu saya harus minder, toh saya bisa sekolah juga karena ibu saya). Teman-teman saya di pesantren berasal dari berbagai kota di Indonesia, kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga yang berada.

Saat pertengahan kelas 1 MTs (setingkat SLTP) ibu saya sudah pulang ke rumah karena masa kontraknya telah habis (yang belakangan saya ketahui bahwa dulunya di negara-negara ASPAC pekerja sektor non-formal dibatasi masa kerjanya hanya selama 3 tahun), namun ibu saya hanya sebentar berada di rumah karena akan berangkat sebagai TKI lagi, kali ini tujuannya adalah Hong Kong. Saya yang sudah beranjak remaja tentu saja merasa sedih kenapa ibu harus jauh-jauh mencari nafkah ke luar negeri.

Lulus MTs saya lalu melanjutkan ke salah satu SMA di pesantren yang sama, sebagai informasi pesantren tempat saya menuntut ilmu memiliki banyak unit sekolah mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Menjelang saya lulus SMA ibu saya memutuskan untuk berhenti bekerja di luar negeri, selain sudah tidak mendapat izin lagi dari ayah saya, ibu juga ingin berada di dekat keluarganya.

Kalau dihitung-hitung secara keseluruhan kurang lebih ibu saya sudah 9 tahun merantau ke luar negeri, 3 tahun di Taiwan dan 6 Tahun di Hong Kong dengan durasi kontrak tiap 2 tahun ibu ganti majikan, ditambah pula untuk pelatihan awal di PT 1 tahun. 10 tahun lamanya ibu saya pergi untuk membantu ayah menopang perekonomian keluarga kami. Selama itu pula saya merasa masih egois hanya memikirkan diri sendiri tanpa tahu perjuangan ibu saya di luar sana. Ibu saya memang tidak pernah bercerita ataupun berkeluh kesah tentang kehidupannya di negeri orang. Saya yakin ibu tidak mungkin membagi ceritanya itu kepada saya karena tidak mau membuat saya terbebani.

Perlahan saya mulai mengerti perjuangan ibu saya demi keluarganya. Apalagi saat ini saya sekarang sudah bekerja sendiri dan pergi merantau, walaupun masih di Pulau Jawa terkadang saya sangat rindu berada di rumah untuk sekedar bercengkerama dengan kedua orangtua saya. Namun saya sadar saya tidak berhak mengeluhkan itu, karena ibu saya dulu perjuangannya lebih sengsara daripada yang saya jalani sekarang ini. Saya masih bisa melakukan hal-hal yang saya sukai, terkadang pergi dengan teman-teman untuk menghilangkan penat karena rutinitas di kantor. Ibu saya dulu mana mungkin bisa seperti itu merasakan kebebasan, bahkan untuk sekedar menelepon keluarga di kampong dan untuk beribadah saja harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau menunggu majikan pergi keluar rumah.

Besaran gaji yang didapat pada akhirnya tidak bisa menutupi kerinduan ibu saya pada rumah, pada keluarga dan pada sanak saudara di kampung. Kini berkat doa dan kerja keras ibu beserta ayah saya hingga bisa menyekolahkan saya sampai lulus kuliah dan adik saya kini sedang menempuh sekolah SMA nya di pesantren yang sama dengan saya dulu (bedanya adik saya sendiri yang meminta sekolah di pesantren tanpa iming-iming tamasya, heheheeee).

Ibu saya sejak tahun 2009 berada di rumah membuka warung kelontong kecil-kecilan dan ayah saya menjalankan usaha selep padi keliling. Saya sangat bersyukur Tuhan pada akhirnya mengijinkan kami berkumpul lagi di tanah yang sama. Walaupun saya tidak pernah mengutarakan pada ibu saya, semoga beliau bisa merasakan bahwa saya sangat bangga kepadanya. Saya sangat sayang pada ibu saya, maafkan anakmu ini bu yang belum bisa menjadi anak yang berbakti serta patut dibanggakan. I love you Mom, I love you Dad, I love you my little sister, semoga jalan kita selalu diberkahi oleh Yang Maha Kuasa. Aamiin.

PS: Untuk semua wanita-wanita hebat yang merantau diluar sana semoga kalian selalu semangat demi keluarga masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun