[caption caption="Foto kami berempat saat saya kelas 1 MTs, ibu saya sedang mengambil cuti"][/caption]
Â
Kali ini saya akan sedikit berbagi cerita mengenai seorang wanita yang sangat saya sayangi yaitu ibu saya. Saya terlahir bukan dari keluarga yang berkecukupan secara materi. Saya lahir di Sidoarjo pada pertengahan tahun 1992, saat itu ayah dan ibu saya bekerja sebagai pekerja pabrik. Menurut saya kehidupan kami sangat normal, saya masih bisa bermain bersama teman-teman, pada tiap akhir bulan orang tua saya biasanya menyempatkan diri untuk mengajak saya berwisata ke KBS (Kebun Binatang Surabaya) selain lokasinya yang memang dekat dengan rumah pada saat itu juga ada paman dari ibu saya yang bekerja disana jadi kami bisa masuk tanpa membayar tiket, sungguh suatu hiburan yang murah meriah bagi kami.
Sayangnya kami tidak tinggal lama di Sidoarjo, saat krisis moneter tahun 1998 pabrik tempat ayah dan ibu saya bekerja melakukan PHK (putus hubungan kerja) besar-besaran (ayah dan ibu bekerja pada pabrik yang berbeda) orang tua saya termasuk dalam pegawai yang di PHK tersebut. Tidak lama setelah itu ibu saya yang sedang hamil tua harus menjalani operasi usus buntu. Singkat cerita karena sudah tidak memiliki pekerjaan orang tua saya memutuskan untuk menjual rumah kami di Sidoarjo untuk menutup biaya operasi ibu dan pindah ke Trenggalek yaitu kampong halaman ayah saya.
Kami di Trenggalek harus menumpang di rumah kakek-nenek saya atau orang tua ayah saya. Ayah saya lalu bekerja di gudang selep padi milik pak lurah. Sekitar 3 bulan setelah kami pindah ke Trenggalek ibu saya melahirkan adik perempuan saya dengan sehat dan selamat. Saat umur adik saya belum genap tujuh bulan ibu saya memutuskan untuk menjadi TKI agar bisa merubah nasib, tetapi masalahnya saat itu belum ada saudara yang bersedia mengasuh adik saya. Sampai suatu ketika ada bibi ipar ayah saya yang juga memiliki anak yang masih balita bersedia mengasuh adik saya.
Sebenarnya ibu saya juga tidak tega meninggalkan anaknya yang masih bayi dan terpaksa pula berhenti member ASI kepadanya, tetapi tekad ibu saya sudah bulat dan kuat untuk mengadu nasib ke perantauan. Saya yang masih duduk di bangku kelas 3 SD masih belum paham ibu saya akan bekerja dimana, saya hanya tahu satu kata ‘Taiwan’ dan saya juga tidak tahu dimana letak ‘Taiwan’ itu berada (pokoknya itu tempat asing yang sangat jauh).
Ibu saya tidak langsung berangkat begitu saja ke Taiwan melainkan harus tinggal di PT (saya lupa PT nya di Jakarta atau Surabaya) terlebih dahulu selama kurang lebih satu tahun untuk mendapatkan pelatihan mengenai bahasa dan kemampuan penunjang yang lainnya. Selama di PT itu ibu saya juga masih bisa pulang ke Trenggalek antara 3-4 bulan sekali. Pada pertengahan tahun 2001 (seingat saya) ibu saya sudah mendapatkan majikan di Taiwan, beliau langsung diberangkatkan agar bisa segera bekerja. Semenjak itulah saya tidak bisa lagi bertemu dengan ibu saya. –continued-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H