Provinsi Jawa Barat yang sebelumnya telah menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 1996 tentang Pelestarian, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda telah digantikan/direvisi dengan Perda Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah Di Propinsi Jawa Barat serta terakhir disempurnakan pada Mei 2012. Pembaharuan pada tahun 2012 tersebut berisikan tentang wajibnya semua instansi untuk memakai Bahasa Sunda terutama di lingkungan sekolah yang mengajarkan pendidikan Bahasa Sunda (Virdani dan Mardiani, 21 Mei 2012).
Memasukan pendidikan bahasa lokal ke dalam pendidikan formal menjadi usaha untuk melestarikan budaya, khususnya bahasa, yang dilakukan oleh beberapa daerah yang ada di Indonesia.Â
Apakah peraturan atau putusan pemerintah daerah untuk memasukan pendidikan bahasa lokal dalam pendidikan formal merupakan bentuk resitensi terhadap arus budaya global yang kerap kali mencuri hati masyarakat? Pada porsi yang sangat kecil, dapat dikatakan bahwa hal tersebut merupakan bentuk realisasi terhadap usaha melestarikan kebudayaan lokal dan resistensi dalam kadar kecil terhadap pengaruh budaya global yang meredupkan budaya lokal.
Kesimpulan: Lebih dari Sekedar Permukaan
    Adanya globalisasi yang meleburkan batas-batas negara dan kemajuan teknologi juga menjadikan persebaran arus informasi antarnegara menjadi lancar dan mudah diakses di mana saja dan kapan saja. Salah satunya informasi terkait budaya yang kini dapat diperoleh dan dinikmati oleh masyarakat dari budaya yang berbeda juga. Budaya global atau budaya negara-negara inti tentu merupakan hal yang dapat dirasakan pengaruhnya oleh negara-negara di seluruh dunia dan tak jarang budaya global lebih berhasil merebut hati masyarakat dibandingkan budaya lokal suatu negara.Â
Di Indonesia hal tersebut terjadi dan dapat dilihat mulai dari industri garment, film dan musik yang menjadi favorit merupakan garment dengan brandglobal, film tataran global dan musik-musik internasional.Â
Pada aspek bahasa, di Indonesia pendidikan bahasa asing sangat mudah diperoleh baik itu di lembaga pendidikan non-formal maupun pendidikan formal. Mirisnya, pendidikan bahasa asing terlalu dianggap penting sehingga kini pun penanaman pendidikan bahasa asing sudah dimulai sejak dini pada tingkat pendidikan TK dan SD yang sesungguhnya dapat mengacaukan kemampuan berbahasa anak.
    Popularitas dan penanaman pendidikan bahasa asing sejak dini di Indonesia bukanlah berarti kebudayaan Indonesia sangat tertinggal dan tertunduk diam di bawah pengaruh budaya global.Â
Produk Indonesia di industri garment,film dan musik juga bersaing dengan produk budaya global dan kualitasnya mulai menyaingi produk global. Pada tataran pendidikan, bahasa lokal yang kian meredup juga mulai dimasukan pada tataran pendidikan formal untuk diajarkan ke anak-anak tentang bahasa lokal. Hal ini menunjukkan bahwa adanya resistensi yang dilakukan oleh Indonesia dalam menanggapi budaya global yang kian membuat budaya lokal terpinggirkan di mata masyarakat. Namun, hal tersebut bukanlah resistensi atau perlawanan pada tataran yang besar melainkan hanya pada tataran kecil.
    Sebelum mengagung-agungkan pergerakan resistensi kecil Indonesia lewat pendidikan bahasa lokal di pendidikan formal, ada baiknya untuk melihat apakah tindakan memasukan bahasa lokal dalam pendidikan formal merupakan tindakan paling tepat dalam rangka melestarikan bahasa dan budaya lokal.Â
Pendidikan bahasa lokal di tataran formal merupakan pendidikan budaya di mana masyarakat yang mengenyamnya belum tentu dengan ikhlas dan kemauan tinggi untuk mendapatkan pendidikan budaya tersebut. Bisa jadi dengan model seperti itu, pendidikan kebudayaan khususnya bahasa lokal hanyalah suatu pemaksaan yang ujungnya juga tidak akan diserap dan melekat dalam benak masyarakat yang mengenyamnya.Â