Dalam menganalisis kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh tenaga pendidik menggunakan perspektif positivisme hukum, kita perlu berfokus pada hukum tertulis yang berlaku di Indonesia. Positivisme hukum memandang bahwa hukum adalah apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan, terlepas dari pertimbangan moral atau etika di luar itu.
Analisis kasus ini dimulai dengan mengidentifikasi undang-undang yang relevan. Pertama, UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 76 E yang melarang tindakan kekerasan seksual terhadap anak. Kedua, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, terutama Pasal 20 yang mengatur kewajiban guru untuk menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan dan kode etik guru. Ketiga, KUHP Pasal 290 tentang perbuatan cabul terhadap orang yang belum dewasa.
Mazhab positivisme hukum yang relevan dalam konteks ini adalah positivisme analitis yang dikembangkan oleh John Austin. Mazhab ini menekankan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa yang berdaulat dan harus dipatuhi. Dalam kasus ini, undang-undang dan peraturan yang ada merupakan manifestasi dari perintah penguasa yang harus ditegakkan.
Argumen tentang mazhab hukum positivisme dalam konteks hukum Indonesia dapat dilihat dari struktur hierarki perundang-undangan yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011. Sistem ini mencerminkan prinsip positivisme dimana hukum dipandang sebagai sistem yang terstruktur dan formal. Namun, penerapan murni positivisme hukum di Indonesia menghadapi tantangan karena adanya pluralisme hukum dan pengakuan terhadap hukum adat dalam beberapa aspek.
Dalam menangani kasus pelecehan seksual oleh tenaga pendidik, pendekatan positivisme akan fokus pada penerapan sanksi sesuai undang-undang yang berlaku, seperti yang diatur dalam Pasal 82 UU Perlindungan Anak yang memberikan ancaman pidana penjara dan denda. Selain itu, sanksi administratif juga dapat diterapkan sesuai dengan UU Guru dan Dosen.
Meskipun pendekatan positivisme memberikan kepastian hukum, kritik terhadap pendekatan ini muncul karena terkadang mengabaikan aspek keadilan dan moralitas yang lebih luas. Dalam konteks Indonesia, diperlukan keseimbangan antara penerapan hukum positif dan pertimbangan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H