Menjelang matahari terbenam aku selalu ditemani anak dan cucu untuk bersantai di gang depan rumah. Aku akan didudukkan di kursi roda.Â
"Apa Mak mau minum?" tanya Tarmi.
"Yaaa ...." Aku menganggukkan kepala pelan.
***
Tarmi adalah menantuku yang kedua dan tinggal bersamaku, sedangkan anak perempuanku setelah menikah lebih memilih untuk ikut dengan suaminya ke Kalimantan. Di sana suaminya dipercaya untuk mengurusi rumah yatim.Â
Ketika Diki memutuskan menikah dengan Tarmi, aku sebenarnya kurang merestui. Dan terbukti setelah Diki menikah, Tarmi yang pendiam membuatku merasa tidak dihargai. Pendiamnya seolah-olah menunjukkan kalau seorang Tarmi tidak peduli padaku.
"Pusing, gua mah sama Tarmi! Bukannya berbenah rumah malah diam aja di kamar. Harusnya kalo bayi udah tidur langsung kerjain kerjaan rumah. Bukannya ikutan tidur!" kataku pada Suti tetangga sebelah rumah.
"Masa sih Mbak, menantu, kok, malasnya kebangetan."
"Tahu, tuh! Bingung gua juga."Â
Begitulah aku akan bergosip soal Tarmi pada orang lain. Bukan hanya menantu keduaku saja, bahkan hampir ketiga menantu di rumahku bisa jadi bahan gosip murahan yang aku sajikan di luar rumah bersama para tetangga.
Mencuci baju saja Tarmi tidak becus, kalau disuruh masak semua rasa masakan hampir sama, barangkali hanya diberinya garam dan penyedap rasa saja disetiap masakannya.