Kampung Naga merupakan salah satu kampung adat; terletak pada Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Kampung Naga merupakan sentral masyarakat seluas 1 hektar yang terdiri dari 112 bangunan, 107 kepala keluarga, dan dihuni oleh penduduk sebanyak 298 jiwa. Masyarakat adat Kampung Naga hingga pada saat ini masih konsisten dengan adat tradisional yang diterapkan sebagai pola hidup Sunda Buhun (tradisional) di tengah kemajuan era digitalisasi. Selain terkenal dengan kebudayaannya, kampung adat Kampung Naga juga terkenal dengan kurang lebih 400 anak tangganya yang harus dilewati untuk sampai ke lokasi perkampungan. Anak tangga yang terbuat dari bebatuan yang dilapisi semen, dengan pemandangan yang begitu indah saat melintasinya karena alam yang dijaga begitu asri. Di tengah keindahan dari Kampung Naga yang saat ini dapat dilihat dengan mata telanjang, Kampung Naga pernah memiliki sejarah yang kelam. Pada masa lalu, Kampung Naga diselimuti lautan api karena tragedi pembakaran oleh kelompok DI/TII pada tahun 1956. Hampir seluruh bangunan, arsip, dan dokumen habis terbakar.
Masyarakat Kampung Naga begitu bersahabat dengan alam, kehidupan masyarakat sejalan dengan alam untuk menjaga adat tradisi (karuhun). Di Kampung Naga tidak pernah terjadi bencana (longsor dan banjir) dikarenakan masyarakat Kampung Naga hidup selaras dengan alam. Keseharian masyarakat Kampung Naga dalam mata pencahariannya merupakan bertani di mana pada saat musim panen dan menggarap tanah, hasilnya dikumpulkan oleh masyarakat dengan lebih mengutamakan stok pangan, selain itu terdapat beberapa anggota masyarakat yang berjualan ke luar wilayah Kampung Naga.
Budaya sebagai hal yang melekat pada masyarakat menjadi satu kesatuan yang utuh di dalam kehidupan. Dalam upaya mempertahankan dan melaksanakan kearifan lokal masyarakat di suatu daerah, budaya dapat dijadikan sebagai landasan yang kuat untuk dijadikan sebagai tuntunan. Masyarakat Kampung Naga memandang budaya bukan hanya sekadar tampilan seni tradisional, namun bahasa, adat istiadat, dan hal lainnya merupakan bagian dari kebudayaan. Selain itu, masyarakat kampung adat Kampung Naga pun menganggap bahwa budaya merupakan tuntunan, bukan sekadar tontonan semata. Bagi masyarakat adat Kampung Naga, budaya merupakan orientasi atau gaya hidup dimana masyarakat Kampung Naga hidup berdasarkan budaya, hal tersebut dikarenakan jika hidup berdasarkan budaya maka budaya akan memberikan warna kehidupan. Pola hidup masyarakat Kampung Naga sangat berdampingan erat dengan alam. Alam dipakai sesuai dengan kebutuhan dan tidak diekploitasi secara berlebihan (serakah). Contohnya yaitu masyarakat yang masih memasak dengan menggunakan tungku. Masyarakat tetap dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan alam sekitar tetap lestari serta terjaga. Perilaku masyarakat setempat yang masih berlandaskan budaya seperti Kampung Naga terhadap alam dipercaya dapat berpengaruh besar. Masyarakat juga mempercayai bahwa kehidupan berlandaskan budaya memandang perbedaan sebagai kekayaan. Untuk mendalami mengenai kebudayaan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Kampung Naga, penulis tertarik untuk mendalami mengenai salah satu unsur budaya universal yang dimiliki oleh masyarakat kampung adat Kampung Naga, yakni adat istiadat.
Berdasarkan teori teladan, kebiasaan dan adat-istiadat masyarakat Kampung Naga dibiasakan dan ditanamkan sejak kecil sehingga ketika dewasa mereka sudah terbiasa melakukan semua adat-istiadat yang berlaku. Contohnya yaitu ketika orangtua akan bertani, maka orangtua tersebut akan mengajak anaknya untuk ikut pergi ke sawah. Meskipun tidak benar-benar selalu membantu, setidaknya seorang anak dapat melihat dan mengamati sehingga kelak akan melakukan hal yang sama. Di Kampung Naga terdapat beberapa upacara adat, salah satunya adalah Hajat Sasih sebanyak enam kali dalam setahun yang dilakukan bertepatan dengan hari besar Islam yakni Maulid, Jumadilakhir, Nisfu Sya’ban, Muharram, Idul fitri, dan Idul adha. Upacara Adat dilakukan dengan ziarah oleh laki-laki dan tumpeng oleh ibu-ibu. Lembaga adat yang terdapat di Kampung Naga (turun temurun oleh laki-laki) terbagi menjadi 3 yakni kuncen (pemangku adat), lebe (sarana keagamaan) dan punduh (mengayomi masyarakat). Pembagian tersebut didasarkan pada perbedaan peran dan fungsi lembaga adat itu sendiri.
Adapun adat istiadat dan ritual yang biasa dilakukan oleh masyarakat adat Kampung Naga antara lain sebagai berikut.
- Upacara adat dilakukan setiap enam kali dalam setahun (Upacara Hajat Sasih), yang mana dilaksanakan setiap hari besar Islam pada bulan Muharam untuk memperingati tahun baru Hijriyah, bulan Mulud, bulan Jumadilakhir, bulan Syaban, bulan Syawal, dan bulan Djulhijjah. Adapun tujuan diadakannya upacara Hajat Sasih ini adalah sebagai bentuk rasa syukur terhadap Tuhan yang Maha Esa, mendoakan leluhur kampung dan megharap keberkahan dan keselamatan.
- Upacara Menyepi. Upacara ini dilakukan oleh setiap warga kampung tanpa terkecuali pada hari-hari tertentu yang dianggap tabu oleh masyarakat Kampung Naga (Selasa, Rabu dan Sabtu), pada hari itu masyarakat sebisa mungkin untuk menghindari pembicaraan atau bercerita tentang sejarah maupun segala sesuatu yang berkaitan adat istiadat.
- Adat pernikahan Kampung Naga dilakukan dengan serangkaian prosesi adat yang cukup panjang. Terdiri dari pra pernikahan, terdapat adat seserahan dan layat seureuh yaitu prosesi dimana baju si pengantin laki laki dan perempuan disimpan di atas nyiru lalu di susun ke atas secara bersilang kemudian dibacakan ijab qobul. Selanjutnya, prosesi pernikahan berjalan seperti pernikahan pada umumnya, dan pasca pernikahan terdapat adat Upacara sawer, nincak endog (menginjak telur), buka pintu, ngariung (berkumpul), ngampar(berhamparan), dan diakhiri dengan munjungan.
- Upacara adat atau syukuran tidak hanya diikuti masyarakat Kampung Naga tetapi masyarakat luar karena 90% masyarakat luar adalah orang Kampung Naga. Kemudian juga ada upacara adat syukuran di masjid seperti tumpengan.
- Terdapat tiga jenis kesenian yang terdapat di Kampung Naga, yakni adat terebang sejat (sunatan masal atau hari kemerdekaan menggunakan rebana), terebang gembrung (bersifat sakral ada nilai-nilai seperti maulid) dan angklung bareung.
- Terdapat istilah “pamali” atau tabu yang merupakan bentuk larangan bagi masyarakat Kampung Naga.
- Terdapat tradisi yang merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat Kampung Naga berupa pakaia sarung atau senjang, memakai kebaya dan sanggul bagi para perempuan, sementara laki-laki membawa cangkul untuk bertani di sawah.
- Terdapat tradisi Marak yaitu memancing ikan di kolam dengan menggunakan tangan.
Ritual adat wajib diikuti oleh keturunan dari Kampung Naga, tapi dalam hal ini, mereka yang mengikuti tidak ada keterpaksaan dan bergantung dari hari nurani. Jadi harus ikhlas, adapun masyarakat yang tidak mengkuti adat istiadat tidak diberlakukan sanksi (terdapat wujud toleransi yang didasarkan pada keikhlasan dan kesadaran).
Meski demikian, Kampung Naga juga memberikan larangan dan sanksi bagi individu yang melanggar segala macam hal yang sudah ditekankan untuk tidak dilakukan. Sanksi yang diberikan kepada masyarakat yang melanggar dapat diukur melalui tingkat kelalaian masyarakat itu sendiri. Masyarakat Kampung Naga sebagai warga negara dan warga adat memberlakukan pemisahan atas sanksi yang diberlakukan. Jika dilihat berdasarkan masyarakat sebagai warga adat maka hukuman yang diberlakukan adalah hukuman adat. Adapun hukum adat yang paling berat di Kampung Naga yakni masyarakat terkait akan di asingkan. Contohnya salah seorang warga melanggar hak-hak warga yang mengakibatkan ia di keluarkan dari kampung bahkan rumahnya dibongkar. Sementara itu, jika dilihat berdasarkan masyarakat sebagai warga negara maka hal tersebut akan dikembalikan kepada aparat hukum negara.
Nilai-nilai yang dapat dipelajari dari adat-istiadat masyarakat Kampung Naga yang masih sangat melekat adalah upaya-upaya masyarakat yang masih sangat memegang teguh aturan dan kepercayaan yang ditegakkan sejak zaman nenek moyang. Hal ini menjadikan masyarakat lebih mencintai kebudayaan daerah asalnya sehingga lebih menjaga dan mempertahankannya di era gempuran modernisasi dan globalisasi. Selain itu, ketika melihat dari kacamata yang lain menunjukkan bahwa masyarakat Kampung Naga sangat menjaga keseimbangan dan kelestarian ekosistem lingkungan, hal tersebut dapat terlihat dari terciptanya keserasian antara sungai yang bersih dengan perkebunan dan persawahan yang dirawat dengan amat sangat teratur. Dimana, keserasian lingkungan dan ekosistem ini tentu tidak hanya terjadi dengan sendirinya, melainkan tercipta karena tingginya tingkat kesadaran masyarakat Kampung Naga terhadap kelestarian lingkungan sebagai tempat hidup mereka. Oleh karenanya, hal ini menjadi salah satu nilai positif yang dapat dipelajari dan dijadikan contoh bagi masyarakat umum lainnya.