[caption id="attachment_345722" align="alignnone" width="640" caption="Papan peringatan dilarang menangkap ikan. Terpasang di dermaga teluk mayalibit (dok.pri)."][/caption]
"ingat sabtu dan minggu kitorang libur lobe supaya lema bebas bertelur dan jadi tambah banyak", sepenggal kalimat yang tertulis di sebuah dermaga di Warsambin. Kata-kata yang menjadi hukum adat yang begitu ditaati oleh penduduk dan siapa saja. Itulah sebuah kearifan lokal yang dipegang teguh oleh penduduk di Warsambin Distrik Teluk Mayalibit, Kabupaten Raja Ampat. Sebuah aturan yang ditunjukan agar ketersediaan ikan kembung masih terjaga, sebab di situlah daya tariknya.
[caption id="attachment_345723" align="alignnone" width="640" caption="Peta perjalanan menuju teluk mayalibit (sumber openstreetmap.org)"]
Teluk mayalibit bak danau raksasa yang membelah pulau waigeo menjadi 2 bagian. Teluk seluas 53.100Ha ini memiliki potensi keindahan dan kekayaan alam yang melimpah. Di teluk ini juga terdapat suku Maya, yakni suku asli di kepulauan Raja Ampat. Kawasan teluk mayalibit dibagi menjadi 3 distrik, yakni; teluk mayalibit, tiplol mayalibut dan waigeo timur. Bentang alam yang memukau adalah pesona tersendiri bagi pemuja keindahan alam, begitu juga dengan apa yang ada di dalamnya. Warsambin adalah desa yang terletak di distrik teluk mayalibit yang bisa diibaratkan las vegasnya raja ampat.
Perjalanan menuju Warsambin di awali dari kota Waisai. Ada 2 jalur yang bisa ditempuh untuk menuju warsambin. Bisa lewat laut yakni masuk teluk mayalibit dengan menggunakan perahu atau speed boat. Jika lewat darat bisa ditempuh dengan perjalanan sekitar 1 jam dengan jarak tempuh sekitar 35km. Perjalanan darat mungkin jauh memberikan sensasi tersendiri karena variasi jalan yang beragam berikut pemandangan alamnya.
[caption id="attachment_345724" align="alignnone" width="640" caption="Kondisi jalan menuju desa Warsambin. Nampak seekor elang sedang melintas (dok.pri)."]
Kami menumpang kendaraan dobel gardan yang disesuaikan dengan medan. Jalan berliku, kadang tanjakan, kadang turunan. Jalan sempit dari mulai beraspal, bebatuan, tanah liat, hingga kubangan. Hutan primer di sisi kiri jalan dengan pohon-pohon besar berusia ratusan tahun menjadi pemandangan yang mengagumkan. Di sisi kanan adalah rawa-rawa dengan tumbuhan bakau jenis Bruguiera ditandai dengan batang yang menjulang tinggi. Burung elang acap kali mengagetkan karena tiba-tiba melintas di depan kami lalu terbang menghilang. Biawak (Varanus salvator) lari terbirit-birit saat sedang berjemur begitu mendengar deru suara mesin. Suara burung nuri bersahutan dengan burung-burung enggang yang sangat khas suaranya.
Mobil meliak-liuk menghindari jalanan berlubang, dengan melewati beberapa perkampungan yang hanya di huni beberapa kepala keluarga. Yang menarik saya, di sini ada perkampungan yang seluruh warganya bekerja membuat batu bata. Selintas saya menyaksikan wajah-wajah yang tak asing lagi, ternyata mereka adalah pendatang dari pulau jawa. Mereka mengadu nasib dengan membuat batu bata dan rela tinggal ditengah hutan belantara raja ampat. "pakde, paklik, monggo, amit-amit, nyuwun sewu" kata-kata yang saya ucapkan ketika bertemu dan bertegur sapa dengan mereka. Wajah-wajah dengan senyum merekah pertanda rasa kangen yang terobati bertemu dengan sesama orang jawa.
[caption id="attachment_345725" align="alignnone" width="640" caption="Orang dari suku jawa banyak tinggal di sini sebagai embuat batu bata merah (dok.pri0."]
Naluri saya tiba-tiba mengatakan "stop" mendadak mobil berhenti lalu saya meloncat dari kabin depan dan segera berlari keluar. Suara gemuruh air terjun manarik hasrat saya untuk berlari menuju derasnya air yang menghujam. Sungguh indah air terjun ini dan di sana saya bertemu dengan ibu yang sedang mencuci dan memandikan anaknya. Pesona alam yang luar biasa, namun tak banyak yang bisa menikmatinya. Mungkin ibu dan anak ini tidak tersadar ini adalah sebagian surga yang jatuh ke bumi itu. Saya hanya ingin berkata, "ditempat saya tidak ada".
[caption id="attachment_345726" align="alignnone" width="640" caption="Air terjun bata merah, demikian nama tempat ini karena dekat dengan pengrajin bata merah (dok.pri)."]