Aroma tengik terasa menyeruak begitu melihat cungkilan-cungkilan buah kelapa yang dijemur di pelataran rumah. Siang itu I Wayan Sukada sedang membolak-balik kopra yang selama berpuluh-puluh tahun menjadi gantungan hidupnya. Kelapa kering yang dia usahakan ini telah mampu menghidupi dia dan keluarganya, bahkan untuk membangun kehidupan yang jauh lebih baik jika dibandingkan di kampung halamannya di Tabanan-Bali.
Ikut dalam program transmigrasi Pemerintah yang akan di tempatkan di Sulawesi Tengah memantapkan hatinya untuk turut serta. Tahun 1978, dia bersama keluarganya mulai membangun kehidupan baru di Poso sisi selatan dan memberi nama dusun tempat tinggalnya dengan Gantinadi. Rumahnya nampak sederhana, tetapi Pura yang dibangun di sampinya begitu megah. Hindu yang menjadi keyakinan iman mereka dibawa kemana saja, bahkan di tempat baru sekalipun.
Lain kisah yang dialami oleh I Ketut Sugane. Mungkin dia adalah lelaki yang selalu penuh kasih sayang dan setiap saat merayakan valentine day. Mengapa demikian, karena dia adalah petani cokelat yang cukup sukses. Di halaman rumahnya, sengaja di pleseter dengan semen yang berfungsi untuk menjemur biji-biji Theobroma cacao. Biji bersalutkan pulp berlendir warna putih jika dikulum rasanya manis dan asam ini dibuat kering dengan dijemur di bawah terik matahari. Butuh waktu selama 3 hari agar benar-benar kering dan akan menjadi biji-biji cokelat yang siap dijual.
Keuntungan dia menanam padi di lahan kering adalah tidak peduli musim hujan atau kemarau. Yang dia takutkan adalah musim angin karena benang-benang sari padi akan dikipas angin berhamburan entah kemana dan menggagalkan penyerbukan dan banyak padi yang kosong. Dalam satu tahun dia bisa menanam padi 3 kali. Namanya juga perjudian, tak selamanya 3 kali dia mampu panen yang maksimal. Biasanya dia mampu panen besar 1 kali dan jika 2 kali makan Dewi Sri benar-benar memberkahi dan jika 3 kali itu sangat mustahil.
Lahan padinya yang setengah hektar mampu menghasilkan padi giling sebanyak 30 karung atau sekitar 9 kuintal. Jumlah padi yang cukup untuk dimakan bersama keluarganya dan sisanya bisa dijual. Meski tak ada sawah dan subak ada saja yang bisa mengupayakan beras dengan menanam padi yang sebenarnya bukan di lahan yang semestinya. Keterbatasan keadaan lahan tak menghalangi untuk bertani. Cokelat, kopra dan padi ternyata mampu menghidupi orang-orang Bali di lokasi transmigrasi. "Inilah seni dalam bertani," tutur pak Ketut mengakhiri obrolan di atas sak-sak berisi gabah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H