Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seni Petani Bali di Tanah Transmigrasi

28 Juli 2015   09:47 Diperbarui: 11 Agustus 2015   20:39 1578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aroma tengik terasa menyeruak begitu melihat cungkilan-cungkilan buah kelapa yang dijemur di pelataran rumah. Siang itu I Wayan Sukada sedang membolak-balik kopra yang selama berpuluh-puluh tahun menjadi gantungan hidupnya. Kelapa kering yang dia usahakan ini telah mampu menghidupi dia dan keluarganya, bahkan untuk membangun kehidupan yang jauh lebih baik jika dibandingkan di kampung halamannya di Tabanan-Bali.

Ikut dalam program transmigrasi Pemerintah yang akan di tempatkan di Sulawesi Tengah memantapkan hatinya untuk turut serta. Tahun 1978, dia bersama keluarganya mulai membangun kehidupan baru di Poso sisi selatan dan memberi nama dusun tempat tinggalnya dengan Gantinadi. Rumahnya nampak sederhana, tetapi Pura yang dibangun di sampinya begitu megah. Hindu yang menjadi keyakinan iman mereka dibawa kemana saja, bahkan di tempat baru sekalipun.

Kopra adalah komoditi yang menjajikan yang terus diupayakan oleh I Wayan Sukada. Harga yang cukup menjajikan menjadikan dia betah tinggal jauh dari leluhurnya. Namun, saat ini harga kopra sedikit turun menjadi Rp 6.500,00 sebab sebelumnya pernah mencapai harga Rp 11.500,00 per kilonya. Dalam sekali panen dia mampu menghasilkan 1-2 kuintal dalam seminggunya, dan itu berlangsung terus menerus tak ada habisnya. Yang menghalanginya adalah kondisi cuaca yakni hujan, karena tidak bisa menjemur kopra dan angin besar karena tidak berani memanjat pohon kelapa.

Lain kisah yang dialami oleh I Ketut Sugane. Mungkin dia adalah lelaki yang selalu penuh kasih sayang dan setiap saat merayakan valentine day. Mengapa demikian, karena dia adalah petani cokelat yang cukup sukses. Di halaman rumahnya, sengaja di pleseter dengan semen yang berfungsi untuk menjemur biji-biji Theobroma cacao. Biji bersalutkan pulp berlendir warna putih jika dikulum rasanya manis dan asam ini dibuat kering dengan dijemur di bawah terik matahari. Butuh waktu selama 3 hari agar benar-benar kering dan akan menjadi biji-biji cokelat yang siap dijual.

Dalam satu tahun cokelat bisa dipanen sebanyak 3 kali. Dalam satu catur wulan, I Ketut Sugane bisa panen sekitar 1 kuintal biji cokelat kering. Harga dari tengkulak untuk 1 kg cokelat antara Rp 29.000,00 - Rp 30.000,00. Cokelat kini tak semenenjajikan dulu karena bermacam gangguan yang dialami. Cokelat membutuhkan pupuk, perawatan ekstra dan semprotan pestisida. Jika cokelat yang sudah berbunga tidak dirawat, maka buah-buah kecil akan berguguran dan selama 4 bulan ke depan akan mengalami kegagalan panen.

Saya tak kalah tertegun dengan I Ketut Rengga. Mungkin dia satu-satunya petani padi di daerah transmigrasi ini. Saat yang lain mengupayakan cokelat dan kelapa, namun dia mengadu keberuntungan dengan menanam padi. Sepintas saya berkeliling kampungnya, namun tak melihat adanya subak atau petak-petak sawah seperti bayangan saya saat melihat desa-desa di Bali. Walau kondisi geografis di sini tidak seperti di Bali tak menghalangi pak Ketut untuk menanam padi.Lahan kering dia sulap menjadi lahan sedikit basah. Kondisi tanah di tempatnya tinggal memang kurang tepat untuk dijadikan sawah, bahkan mungkin sangat sulit. Dipilihnya lahan di dekat sungai agar mudah untuk mengairinya. Lahan seluas 50 are dijadikannya ladang perjudian dengan menanam padi lahan basah atau sawah. Tata cara menanam padi dia lakukan layaknya di sawah namun kali ini benar-benar di lahan kering.

Keuntungan dia menanam padi di lahan kering adalah tidak peduli musim hujan atau kemarau. Yang dia takutkan adalah musim angin karena benang-benang sari padi akan dikipas angin berhamburan entah kemana dan menggagalkan penyerbukan dan banyak padi yang kosong. Dalam satu tahun dia bisa menanam padi 3 kali. Namanya juga perjudian, tak selamanya 3 kali dia mampu panen yang maksimal. Biasanya dia mampu panen besar 1 kali dan jika 2 kali makan Dewi Sri benar-benar memberkahi dan jika 3 kali itu sangat mustahil.

Lahan padinya yang setengah hektar mampu menghasilkan padi giling sebanyak 30 karung atau sekitar 9 kuintal. Jumlah padi yang cukup untuk dimakan bersama keluarganya dan sisanya bisa dijual. Meski tak ada sawah dan subak ada saja yang bisa mengupayakan beras dengan menanam padi yang sebenarnya bukan di lahan yang semestinya. Keterbatasan keadaan lahan tak menghalangi untuk bertani. Cokelat, kopra dan padi ternyata mampu menghidupi orang-orang Bali di lokasi transmigrasi. "Inilah seni dalam bertani," tutur pak Ketut mengakhiri obrolan di atas sak-sak berisi gabah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun