Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Relawan, Apa Adanya dan Adanya Apa

13 Maret 2012   02:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:09 842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gunung Merapi, nama yang tak asing lagi di telinga kita tentang gunung paling aktif tersebut. 26 oktober 2010, letusan tersebesar semenjak 100 tahun terakhir dengan ratusan korban jiwa dan jutaan korban benda. Erupsi yang hampir sebulan lebih dengan tanda tanya besar, kapan selesainya", menjadikan daya tarik tersendiri. Merapi adalah fenomena alam tentang gejolak perut bumi yang meronta ingin melepaskan tekanan ke permukaan. Wedus gembel, dan material vulkanik lain adalah konsekwensi logis dari aktivitas tersebut. Disanalah daya tarik Merapi setiap kali bergejolak dan ingin menepati janjinya.

Dari sebuah pesan media cetak "tolong cari gambar Merapi dari sudut lain", mampir di surat elektronik. Lantas dengan perlengkapan fotografi mencoba mencari sudut pandang lain dari Merapi yang kebanyakan orang tak mau lirik. Sisi utara dan timur laut menjadi sasaran empuk untuk mengabadikan fenomena alam tersebut. Dengan radius sekitar 4-6km dari puncak Merapi, yang jelas-jelas adalah zona berbahaya, tetapi dari lokasi tersebut masih tenang-tenang saja. Disaat dari puncak merapi terjadi erupsi, terlihat dengan jelas dan dekat sekali. Mata dan kepala menjadi saksi serta kemera terus merekam setiap kejadian. Sungguh senang sekali disaat momen-momen berharga tersebut ada dan nyata didepan mata. Senja itu disaat Sang Surya masuk keperaduaanya, dan Merapi masih saja dengan aksi erupsinya. Tidak ada yang berubah dengan Merapi, begitu juga dengan penduduk sekitar yang masih tenang-tenang saja. Petang berganti malam, di langit nampak awan semakin tebal dan menghitam. Dalam pikiran, sepertinya akan turun hujan sebab gemuruh petir bersahut-sahutan. Diluar prediksi orang yang tak mengerti tentang kondisi alam. Sirine meraung-raung, kentongan bertalu-talu, teriakan "merapi meletus" saling bersahutan, kepanikan ada dimana-mana. Malam yang tenang berubah menjadi malam mencekam, penuh dengan kepanikan.

Sekuat-kuatnya manusia, malam itu adalah malam paling menakutkan. Di puncak merapi, halilintar bersahutan, cahaya merah keluar dan menyembur dari puncaknya, disertai suara gemuruh. Listrik padam, yang ada hanyalah kegelapan disertai hujan abu vulkanik dan histeria warga. Dibalik ketakutan dan kepanikan warga, kaki tiga penyangga kamera tetap berdiri tegak sambil terus merekam apa yang terjadi malam itu. Didalam benak, adalah ini adalah momen-momen berharga sepanjang maasa yang orang lain jarang saksikan dan rekam. Ini bakalan menjadi mahal harganya saat masuk dalam ranah bisnis, walau hanya lewat selembar gambar. Semua berlari, semua pergi, semua mengungsi, kini hanya berdiri seorang diri demi sebuah ego.

Dalam benak ini betapa serakahnya diri ini, bersuka cita akan sebuah momen diatas penderitaan, ketakutan dan kepanikan warga. Jika di asumsikan, tak ubahnya dengan film "Kingkong", dimana kesrakahan momen harus mengorbankan segala-galanya. Memang benar-benar bodoh pada malam itu, bukannya membantu malah terus memotret hingga pagi. Seoalah tak ingin ada moment yang terlewat sedikitpun dan harus mendapatkan. Kesrakahan akan sebuah momem istimewa membutakan hati, bahwa disana ribuan nyawa yang berteriak minta tolong. Bodohnya diri ini, dengan kemara terus melukis cahaya dari mereka yang terkena bencana. Akhirnya runtuh juga ego ini, dan kemera masuk dalam peraduannya. Tak berarti apa-apa ini gambar, sebab sudah banyak yang seperti saya, bahkan lebih bagus, lebih hangat dan lebih jelas. Apalah arti imbalan dari media dari selembar gambar, dibandingkan dengan tangisan anak-anak kecil dan kepanikan orang-orang dewasa. Pagi itu, berbekal bekal yang tersisa mencoba untuk turun tangan langsung di lokasi. Lewat situs jejaring pertemanan mencoba kontak satu dengan yang lainnya. Memang jika niat baik itu tulus dan iklas di kerjakan, ada-ada saja bantuan yang datang.

Pagi itu di posko Candi Sari, sekitar 2000 lebih pengungsi berdatangan. Kantor kelurahan yang saat itu yang tidak siap menerima kedatangan pengungsi, begitu panik disaat ribuan orang datang dengan truk dan sepeda motor. Jarak dari puncak Merapi sekitar 15Km, walau belum masuk zona aman tetapi dirasa aman karena sudah tidak ada pilihan lagi untuk mengungsi. Pagi itu, mereka yang datang mengungsi hanya berbekal apa yang menempel di badan mereka dan apa yang mereka genggam. Sungguh suasan yang memprihatinkan, dan seolah semua orang tak bisa berbuat apa-apa hingga bantuan datang. Mengharapkan bantun datang, seolah mustahil karena tak ada yang tahu ada posko pengungsian di lereng tenggara Gunung Merbabu. Sambil menunggu bantuan dari teman-teman datang, bersama penduduk dan pemuda setempat mencoba mencari solusi bagaimana mengatasi permasalahan yang ada. Saat itu pengungsi yang masih di pelataran balai desa dengan wajah dan tubuh penuh dengan abu vulkanik diarahkan menuju kamar mandi umum untuk bersih-bersih. Disaat yang bersamaan, kami menyiapkan tempat untuk mereka istirahat di dalam balai desa yang bisa menampung satusan penduduk. Penduduk yang tak kebagian tempat lalu diarahkan ke rumah-rumah penduduk sekitar untuk di ungsikan sementara. Dapur darurat sudah berdiri di pojok balai desa, dengan bahan makanan seadanya mencoba mencukupi kebutuhan pengungsi. Hanya lewat pesan singkat, dan situ jejaring sosial mencoba untuk menggapai rekan-rekan yang jauh disana untuk mencari bantuan. Siang itu, dari komunikasi mulut kemulut, ponsel ke ponsel dan dunia maya, datanglah bantuan baik makanan, minuman, selimut, masker dan obat-obatan. Namun, yang terjadi adalah kericuhan, kekacauan karena semua pengungsi berebut. Kami tak berdaya menghadapi hampir 2000 pengungsi yang saling berebut, saling dorong, dan benar-benar kacau saat itu. Hanya tatapan mata saja yang ada saat itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Sebuah pelajaran berharga kami dapat siang itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun