[caption id="attachment_379984" align="alignnone" width="640" caption="Gramaphone. salah satu harta karun yang dijajakan di Pasar Triwindu-Solo (dok.pri)."][/caption]
Matahari belum tenggelam tetapi mulai mendekati kaki langit untuk menuju titik nadir. Pedagang wedang ronde dan es buah beradu kencang dalam memukul gelas-gelas untuk menarik pembeli. Patung-patung dengan bentuk wajah masih saja diam terapku tanpa peduli dengan apa yang sedang terjadi. Senja ini pasar Triwindu yang kini bernama Windujenar yang ada ditengah-tengah kota Solo masih sibuk dengan para pemburu harta karun, padahal beberapa kios tirai besinya mulai menutup separo.
[caption id="attachment_379985" align="alignnone" width="640" caption="Penjual wedang ronde mangadu nasib di depan pasar Triwindu (dok.pri)."]
Bagi kolektor benda-benda antik atau kuno, maka pasar Triwindu adalah surganya. Mereka bisa mencari apa saja yang hendak diburu, tentu saja jika beruntung. Bagi mereka yang suka dengan barang-barang tempo dulu, tak harus menjadi kolektor tetapi bisa langsung mencari disini dan jika sepakat bisa langsung dibawa pulang. Bagi para pelancong jika ingin bernonstalgia tentang masa lalu, bisa betah berlama-lama disini walau hanya melihat setrikaan usang dengan kapala ayam jago di ujung besi panas.
Sebuah pasar tradisional yang dibangun menjadi pasar modern, tetapi barang jualannya tetaplah tradisional. Walau dibangun semodern apapun, barang jualannya tetap kuno dan semakin kuno semakin antik. Sebuah pasar yang memiliki jiwa aprsesiasi yang tinggi terhadap barang usang masa lalu, tetapi bisa disulap menjadi komoditi bernilai tinggi. Saya sempat tidak percaya, harga sebuah barang yang jika dinlai dari nilai intrinsiknya hanya puluhan ribu dihargai dengan nominal puluhan juta.
[caption id="attachment_379987" align="alignnone" width="640" caption="Topeng-topeng antik yang menempel di dinding pasar. Selain sebagai hiasa, pembeli juga bisa menebusnya untuk dibawa pulang (dok.pri)."]
Gerusan waktu boleh saja menggerus barang-barang dagangan disini, tetapi seiring itu pula akan memoles nilai jualnya semakin tinggi. Manakala ada barang-barang akan memiliki angka penyusutan, tetapi barang-barang disini sudah melewati kurva yang menukik tajam kebawah dan kini semakin merangkak naik bahkan melewati titik awal bergeraknya. Saya berjalan dari lorong ke lorong sambil melihat barang-barang yang usianya jauh dari umur saya. Mereka nampak kusam namun begitu anggun masih seperti masa kejayaannya. Saya tidak menyangka ditengah jaman yang serba modern masih saja ada yang konservatif dengan barang-barang usang itu.
Para penjual dan pembeli benar-benar mengapresiasi prabotan masa lalu dan kadang tak tanggung-tanggung mereka berani membuka dengan harga yang fantastis tinggi. Entah apa yang mereka cari, apakah sebuah nilai seni, kepuasan, atau jangan-jangan hanya bisnis semata. Namun mereka sepertinya paham benar dengan setiap benda di pasar Windu jenar ini. Ada sebuah harga yang harus ditaksir pada nilai seni, budaya, umur, dan manfaat dan mereka benar-benar jeli.
[caption id="attachment_379988" align="alignnone" width="640" caption="Seorang pembeli datang untuk mencari lampu gantung 9dok.pri)."]
Lorong-lorong sudah saya lewati dan nampak beberapa kios mulau dikunci gemboknya. Seorang pemuda datang hendak mencari lampu gantung dan terpaksa salah seroang penjual membatalkan menutup kiosnya. Perdebatan sengit terjadi diantara mereka untuk mencari kesepakatan harga. Antusisme pembeli tak mau kalah, sepertinya benar-benar sedang butuh dan penjual memanfaatkan kesempata ini untuk memasang harga tinggi. Inilah mekanisme pasar dimana hukum permintaan dan penawaran akan bermain di dalamnya. Kesepakatan tidak terjadi, dan pembeli berjalan ke lorong lain dan raut wajah penjual sepertinya menyesal dengan harga yang tinggi, namun inilah seninya berdagang.
[caption id="attachment_379989" align="alignnone" width="640" caption="Senja di depan pasar triwindu yang menghadap ke barat (dok.pri)."]