Konon, kata para pelancong yang saya temui setiap kali jalan bersama, biasanya tidak melupakan dua hal setiap mengunjungi sebuah tempat. "Jika ingin mengetahui keseriusan pemerintahnya dalam melayani masyarakat, cobalah naik angkutan umumnya. Jika ingin mengetahui karakter penduduknya, cobalah mengunjungi pasar tradisionalnya". Saya sepakat, karena di dua tempat tersebutlah penduduk setempat melakukan mobilisasi. Kali ini saya berkesampatan diajak blusukan di Pasar Bauntung untuk melihat arwana-arwana yang siap untuk digoreng.
Sesaat rekan seperjalanan saya yang kebetulan orang setempat sempat ragu menerima ajakan saya. "Bang, enakan main di taman, kafe, atau mall," katanya. "Di tempatku banyak yang gituan, dah ayok ke pasar." Mimik wajahnya menandakan seolah berkata, "Oke... oke...." mengiyakan dengan berat. Masuklah saya di Pasar Bauntung di Kabupaten Tabalong di Kalimantan Selatan.
Pasar Bauntung adalah salah satu pasar terbesar di Tabalong, bisa dikatakan sebagai pasar utama. Pasar yang persis di tepi Sungai Tabalong menarik hati saya untuk mengunjungi karena pasti setiap pasar memiliki ciri khasnya masing-masing. Namun, sebelum masuk pasar, alangkah tidak salahnya untuk mencecap makanan khas yang ada di sana.
Dapur yang terletak di samping ruang makan, mengepulkan asap putih beraromakan iwak. Orang Tanjung menyebut ikan air tawar dengan sebutan iwak, jika di Jawa kata iwak identik dengan daging (iwak sapi, iwak lele). Beberapa jenis iwak dijajarkan dalam nampan, siap untuk dibumbui lalu dipanggang. Gabus, patin, nila, peda, ayam, bebek, aung, adalah jenis-jenis iwak yang siap untuk dipepes atau dipanggang.
Sesaat setelah lambung dan usus ini bersahabat, saatnya mengulik isi Pasar Bauntung di Tanjung-Tabalong. Tujuan pertama adalah mengunjungi kios yang menjual aneka macam peralatan rumah tangga khas Kalimantan Selatan. Sebagian besar barang dagangan yang dijual adalah wujud anyaman. Tikar, topi, keranjang, tas, dan masih banyak lagi terbuat dari daun tumbuhan rawa yang dikeringkan lalu dianyam. Sejenak saya menanyakan harga beberapa barang walau tidak berniat membelinya.
Los ikan menjadi incaran saya untuk melihat ikan-ikan lokal yang ada di Tanjung. Saya mencoba menanyakan kira-kira ikan apa yang paling mahal di sini dan dibuat apa. Rekor paling mahal adalah ikan betok atau masyarakat setempat menyebutnya dengan papuyu. Ikan yang dihargai Rp 100.000,00 per kg memang sangat disukai masyarakat dan menjadi menu kuliner yang sangat lezat. Iwak papuyu baik yang dibakar, goreng, pepes adalah yang paling enak. Selain dagingnya yang tebal, juga teksturnya yang kesat. Ikan ini hidup liar di sungai dan rawa-rawa. Cara menangkapnya yang susah, membuat ikan ini memang langka keberadaanya dan pantas harganya paling mahal.
Saya semakin memahami, di antara ikan-ikan tersebut juga diperjualbelikan ikan laut, namun banyak yang memilih ikan air tawar. Konsumsi ikan masyarakat di sini sangat tinggi, dilihat dari stok ikan di los ikan yang sangat banyak. Beberapa warung makan juga menyediakan menu makanan khas Tabalong, yakni paliat yang kebanyakan adalah berbahan iwak.