[caption id="attachment_404885" align="aligncenter" width="600" caption="Salah satu fosil kerangka kerbau yang hidup di jaman purba di temukan di sangiran. Kerangka ini dipamerkan di museum Dayu, 1 dari 4 museum purbakala di Sangiran (dok.pri)."][/caption]
"kamu orang Indonesia kurang otak ya.. tadi saya sudah kasih tahu, sekarang lupa..!" kata Pak Tantu sambil menirukan aksen Jepang. Waktu Itu pak Tanto yang bernama asli Sutanto masih duduk di bangku SMP sedang menemani arkeolog asal Jepang yang bernama Ishihara. Setiap hari dia menjadi asisten Ishihara berkeliling hutan di Sangiran untuk mencari fosil-fosil. Sembari bekerja dia juga banyak belajar dari arkeolog kelas dunia tersebut. "Saya jika lupa tentang jenis-jenis fosil, pasti pundak saya di pukul dengan palu geolog, sehingga sampai sekarang saya selalu ingat" kenangnya.
[caption id="attachment_404887" align="aligncenter" width="600" caption="Pak Tanto (paling depan bertopi) menjelaskan tentang stratifikasasi tanah di Sangiran. Pendidikannya yang hanya SMP dan profesi sebagai petani, dia lihai bab geologi dan arkeologi kerena belajar bersama pakarnya langsung di lapangan (dok.pri)."]
Berawal datangnya seorang paleontolgi dari Jerman yang bernama G.H.R von Koeniswald di Sangiran begitu terkesima dengan harta purbakala di Pulau Jawa, kususnya di Sangiran-Jawa Tengah. Tanda tanya besar von Koeniswald yang saat itu bekerja mengembangkan bio-stratigrafi pulau jawa saat ditemukannya fosil pecahan rahang manusia purba yang diberinama Sangiran 1. Pencarian kemudian berlanjut dengan mengajak penduduk lokal yang bernama Tanu Prawiro yakni kakenya pak Tonto. Ayah pak Tanto juga ikut yakni pak Citro Suroto yang dikenal dengan pak payung, karena bertugas membawa payung dan memayungi von Koeniswald saat di lapangan. Ibu Pak Tanto yang bernama Ibu kasinah juga ikut bekerja, sebagai pembawa fosil.
Sangiran adalah sebuah kawasan yang berada di cekungan solo, begitu ahli geologi menyebutnya. Desa ini terletak di kecamatan Kali Jambe, Kabupaten Sragen- Jawa Tengah adalah sebuah kubah yang terkikis oleh air. Awalnya di sini adalah dasar laut, kerana adanya tekanan tektonik dari dasar sehingga terangkat dan menjadi rawa-rawa. Selanjutnya tanah sangiran beberapak kali mengalami perubahan karena ada bencana alam tsunami, erosi, dan gunung meletus. Adanya bencana alam ini membuat tanah Sangiran berlapis-lapis, setidaknya ada 8 lapisan. Masing-masing lapisan mewakili kehidupan jutaan hingga ribuan tahun yang lalu. Dari mahluk dasar laut, pantai, rawa-rawa, hingga daratan semua ada di Sangiran.
[caption id="attachment_404889" align="aligncenter" width="600" caption="mBah Ratmo (kaca mata), generasi pertama dari para pencari balung buto mengisahkan saat bekerja bersama von Koeniswald pad para penelitu muda yang hendak penelitian (dok.pri)."]
Kekayaan mahluk-mahluk purba inilah yang membuat sangiran bisa mengguncang dunia lewat penemuan-penemuannya. Von Koeniswald inilah yang menjadi pioner di Sangiran untuk mencari fosil-fosil binatang purba. Begitu berhargannya fosil tersebut, membuat Koeniswald sempat menyebar 5 karung uang koin, agar penduduk mencari koin dan jika ada fosil segera menyerahkannya dan di tampung di sesepuh desa yakni Pak Toto Marsono. Penduduk mengenal fosil-fosil tersebut dengan Balung Buto dalam bahasa jawa yang artinya tulang raksasa. Bisa di bayangkan, di Sangiran ditemukan gading gajah sepanjang 4 m entah berapa besar tubuh gajahnya.
[caption id="attachment_404890" align="aligncenter" width="600" caption="Prof. Franchois Semah (berkemeja) mengandalkan penduduk lokak dalam setiap eskavasi situs purbakala.(dok.pri)."]
Gencarnya pencarian balung buto tersebut telah mencetak penduduk-penduduk lokal yang mahir mencari dan mengindentofikasi jenis-jenis fosil. Sebut saja pak Tanto, pak Subur yang merupakan generasi ke dua dari kakek mereka yang menjadi pioner. Mereka yang saban hari bekerja bersama ilmuwan-ilmuwan sekelas von Koeniswald, Ishiara, Â Sartono, T. Jacob dan Suyono. Hingga saat ini masih ada sosok mBah Suratmo yang masih ingat benar manakala kisah bersama von Keoniswald dalam mencari balung buto. Di usia senjanya dia masih bisa mengidentifikasi jenis fosil dan batuan yang ada di sangiran, bahkan memperkirakan berada di lapisan mana dan usianya berapa. Penduduk lokal disini paham benar tentang fosil dan batuan tanpa menempuh bangku pendidikan, tepapi berdasar pengalaman di lapangan bersama para pakarnya.
[caption id="attachment_404891" align="aligncenter" width="600" caption="Saya menunjukan sebuah fosil tulang dan menanyakan pada penduduk yang sedang eskavasi. Serentak mereka menjawab "]
Kemampuan penduduk tentang dunia geologi dan arkeologi kadang tidak diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Acapkali kemampuan penduduk-penduduk di sangiran dimanfaatkan untuk pencarian fosil secara ilegal. Beberapa fosil yang ditemukan tidak lagi diserahkan pada pemerintah, tetapi dijual kepada pihak luar baik dari dalam negeri atau luar negeri. Kemampuan penduduk lokal dalam mencari fosil kadang tidak perlu diragukan kemampuannya. Dengab batangan besi yang ditancapkan di tanah sudah bisa mengendus jejak-jejak kehidupan purba di dalam tanah. Mereka belajar berdasar pengalaman, tetapi realitanya desakan akan kebutuhan ekonomi membuat mereka menukar pengalaman dan temuannya yang berharga dengan lembaran rupiah. Adanya peraturan pemerintah mampu meredam tindakan ilegal ini, walau ada juga yang masih kecolongan. Yang pasti mereka tidak ingin punah seperti jasad-jasad yang sudah membatu di bawah bumi sangiran.