[caption id="attachment_404785" align="alignnone" width="640" caption="Awalnya lokasi ini adalah lahan terbuka dan nyaris tidak ada tumbuhan karena menjadi area tambang. Kini perlahan lahan tersebut sudah di remidiasi kembali untuk dibuat seperti sedia kala, walau harus bertahap prosesnya. Nampak tanaman penutup sudah tumbuh dengan baik (dok.pri)."][/caption]
Berawal dari sebuah ekosistem yang kompleks dan menjadi satu bagian dari sebuah biosfer. Datanglah surveyor yang kemudian mencari potensi sumber daya alam yang ada dan mengkalkulasinya. Akhirnya didatangkanlah alat berat untuk mengeplorasi kekayaan alam ini dan usai semua itu berlangsung diadakannya revitalisasi untuk mengembalikan menjadi seperti semula. Ada jedang puluhan tahun dari sebuah ekosistem yang masih alami, kemudian dirubah dan dikembalikan seperti semula, tetapi itulah fakta akan konsekuensi logis dari sebuah pertambangam.
Entah bagaimana awalnya Batu Hijau PT.NNT yang saya kunjungi sebelum diekplorasi. Saya hanya bisa melihat dari slide-slide foto yang ditampilkan, berikut data-datanya. Akhirnya sebuah bukit berubah menjadi lembah, dan lembah berubah menjadi bukit. Sebagian isi perut bumi di olah menjadi batangan logam-logam mulia, sisanya dipindahkan dalam dasar samudra. Hukum kekekalan energi mengatakan, tidak ada yang hilang, tetapi hanya bertransformasi. Dalam dunia pertambangan, tidak ada yang hilang, tetapi hanya berpindah tempat saja, mungkin hanya waktu, lansekap dan beberapa ekosistem saja yang hilang.
[caption id="attachment_404789" align="alignnone" width="640" caption="Lahan bekas tambang yang kini sudah kembali menjadi hutan, nampak menghijau di sisi kira jalan (dok.pri)."]
Langkah yang menarik dari tanggung jawab perusahaan tambang adalah revitalisasi lahan yang habis pakai. Proses reklamasi biasa di dengungkan untuk membuat alam kembali seperti aslinya. Namun jika dikaji, menurut saya sepertinya kurang pas. Reklamasi sepertinya cocok untuk membuka lahan baru untuk area pertanian maupun pemukiman. Untuk mengembalikan dalam bentuk asli mungkin menurut saya adalah remidiasi. Namun dibalik makna-makna yang kadang membuat saya canggung, ada tujuan mulia untuk mengembalikan alam ini seperti semula.
Lahan-lahan bekas galian berupa urugan bebatuan dilapisi tanah bagian atas yang sengaja disimpan pada awal ekplorasi. Jika stratifikasi tanah tersebut sudah pas, maka saatnya memberikan tanaman penutup/cover crop sebagai lapisan awal. Tanaman ini akan menjadi perintis yang bertugas sebagai penutup tanah untuk mengcegah longsor karena aliran permukaan, menciptakan mikroklimat untuk organisme lain, dan menambah masa tanah. Jika tanaman penutup tanah ini sudah baik, maka akan ditambah tanaman introduksi sebagai pelengkap dari rumput, semak, perdu hingga pohon. Flora yang akan hadir di sana adalah flora lokal yang sebelumnya sudah di inventarisasi.
[caption id="attachment_404792" align="alignnone" width="640" caption="Suatu saat binatang-binatang liar ini tak lagi turun di jalan, tetapi akan kembali mendapatkan rumahnya yang sementara digunakan untuk pertambangan. Keberadaan mereka yang harus menyingkir tetap dilindungai dengan peraturan yang ketat larangan perburuan (dok.pri)."]
Ekosistem hasil revitalisasi tidak sepenuhnya seperti sedia kala. Kemungkinan akan lebih baik, atau sama sekali berbeda. Setidaknya alam ini sudah sedikit terselamatkan dari efek samping pertambangan. Seharusnya adanya campur tangan manusia dan mereka yang pakar dibidangnya bisa menjadikan ekosistem yang sudah berubah tersebut bisa dikembalikan seperti sediakalanya dan jauh lebih baik kondisinya. Potensi sumberdaya alam lokal harus tetap terjaga dan terpelihara. Adanya ekosistem baru ini bisa menarik kehadiran fauna-fauna asli yang sebelumnya harus tersigkir atau menyingkir karena ada aktivitas pertambangan. Peraturan ketat adanya larangan berburu di area tambang, memberikan rasa aman bagi binatang yang sementara harus berpindah dari habitat alaminya. Pada akhirnya jika tambang ini aktivitasnya sudah berakhir, maka kehidupan baru akan ada ditempat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H