Mohon tunggu...
Dhanang DhaVe
Dhanang DhaVe Mohon Tunggu... Dosen - www.dhave.id

Biologi yang menyita banyak waktu dan menikmati saat terjebak dalam dunia jurnalisme dan fotografi saat bercengkrama dengan alam bebas www.dhave.net

Selanjutnya

Tutup

Nature

Ikan dan Beras Bermineral Tinggi dari Salatiga

14 Juni 2011   12:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:31 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Limbah, polusi, sampah memang tidak bisa lepas dari kehidupan sesehari. Sungai adalah tempat yang familiar untuk tempat membuang limbah, baik padat maupun cair. Sangat mudah, dan gampang untuk memindahkan limbah dalam aliran sungai karena ada aliran yang membawanya ke hilir. Seolah sudah menjadi hal yang biasa dan lumrah dalam membuang limbah, baik yang dilakukan rumah tangga maupun industri. Kondisi masyarakat, dengan tingkat pendidikan yang tidak merata, kesadaran akan lingkungan yang rendah dan egoisme cari bersihnya sendiri menjadi alasan yang klasik.

Seharian menyusuri, sebuah sungai di depan pabrik tekstil di Kota Salatiga. Sebuah sungai, yang ada plang nama Jurang Gunting, menjadi awal penelusuran sungai. Aliran sungai nampak kecil debitnya dengan sampah bertebaran dimana-mana. Jalan terus kearah hilir mendekati sisi pabrik Tekstil ada dua buah pembuangan limbah cair. Pembuangan pertama, berwarna kuning, berbusa dan berbau belerang, sedangkan pembuangan kedua berbau lebih menyengat dan berwarna keruh. Dari kesimpulan sementara bisa diperkirakan, dua buah saluran itu adalah pembuangan limbah pencucian ''bleaching'' dan pewarnaan.

Iseng-iseng mencari tanda-tanda kehidupan disekitar selokan pembuangan, namun tak satupun ada kehidupan air. Biasanya sungai keruh terdapat Ikan Seribu atau Anggang-anggang, namun kali ini tidak beruntung menemukannya. Sebuah indikator biologis ada apa dengan limbah yang dibuang tersebut, sehingga tak ada kehidupan disekitarnya. Tidak diketahui zat spesifik apa yang terkandung, hingga menjadi toksit bagi faktor biotis. Disisi lain, mencoba melihat kondisi fisik lumpur disekitar pembuangan dan aliran sungai untuk memastikan apa yang terjadi. Lumpur berwarna hitam pekat, dan tidak sewajarnya lumpur normal menjadi indikator adanya limbah berwarna.

Jalan semakin kebawah sambil terus menyusuri aliran sungai yang semakin deras, sebab dibeberapa sisi sungai ada mata air yang menambah debit sungai. Akhirnya menemukan juga kehidupan, berupa hewan-hewan air dibeberapa sisi sungai dan jeram-jeram kecil. Beberapa mata air dan sungai-sungai kecil, sepertinya menjadi pengencer dari racun-racun yang berasal dari limbah cair. Saya juga semakin yakin, hewan-hewan air yang ada disana adalah hewan yang lolos dari seleksi alam dengan resistensi terhadap bahan-bahan toksit.

Lupakan sejenak hewan-hewan air yang kebal terhadap racun dan terus bertahan dari gempuran industri dan rumah tangga yang kurang ramah lingkungan. Jika diperhatikan, disisi kanan kiri terdapat area persawahan yang nampak menguning atau masih dalam masa pengolahan. Jika dikaji, air dari persawahan juga dari sungai yang berisi campuran limbah cair. Tidak peduli komposisi kandungan air, baik logam berat, limbah beracun atau material organik yang menyuburkan. Petani hanya berpikir, yang penting sawah tidak kekeringan.

Apakah terpikir ada apa dibalik bulir-bulir padi dan tubuh ikan disungai tersebut?. Mungkin orang tidak akan sejauh ingin mencari tahu kandungan isi tubuh ikan dan beras, tetapi jika dilogikan apa yang ikan dan padi serap itu yang ada didalam tubuhnya. Ikan dan beras dengan kandungan logam berat, dan bahan-bahan beracun lainya telah tercipta akibat adaptasi terhadap lingkungan yang menyebabkan mutasi genetiknya. Jika ikan dan beras dari sekitar sungai yang tercemar terdistribusi luas, maka masyarakat bersiap mengkonsumsi bahan makanan bermineral tinggi ''logam berat'' dan toksit.

Tidak bisa dihindari dan dipungkiri, sebab sangat susah membedakan mana bahan pangan yang tercemar logam berat atau limbah beracun, kecuali lewat analisa. Apabila masyarakat tahu kondisi tersebut, makan sikap apatis dan paranoid juga muncul, ibarat pedang bermata dua atau buah simalakama. Tidak tahu bagaimana memutus matarantai kerusakan lingkungan tersebut, kecuali menghentikan pembuangan limbah ke sungai. Mungkin dari sisi industri sudah menyatakan, bahwa limbah yang dibuang ''aman'', tetapi tidak berani menenggak secara langsung walau sudah dinyatakan aman. Pihak rumah tangga juga tidak peduli, mau membuang sampah dimana, sebab tidak diimbangi dengan TPA atau pusat-pusat pengolahan sampah. Yang bisa saat hanya mencoba menyadarkan diri, bagaimana ramah pada lingkungan sebagai wujud ibadah dan syukur kepada Sang Pencipta. Perlawanan hanya akan menimbulkan perpecahan, permusuhan, kerugian, tetapi dengan tindakan nyata dan sadar lingkungan bisa jadi sedikit solusi.

Salam

DhaVe
KK14062011,19:30

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun