[caption caption="Manusia bisa hidup tanpa listrik, tetapi dengan adanya listrik hidup bisa menjadi lebih baik."][/caption]"Earth hour", "Penyalaan bergilir", "Terimakasih PLN sudah membuat beta menikmati heningnya malam", ungkapan sinisme teman saya yang tinggal di Kupang-NTT lewat status BBM-nya. Dia menyadari kendala PLN di kotanya, lantas percuma mengumpat toh juga tidak membuat listrik menyala. Namun yang menarik adalah status BBM dia "mari nonton siara langsung Barca Vs Madrid didepan kantor PLN", sebagai harapan dini hari nanti listrik tetap menyala.
Indonesia bagian timur saat ini ketersediaan listrik hampir sepenuhnya mengandalkan listrik dari PLNyang berasal dari PLTD. Mungkin hanya dieses saja yang sanggup memproduksi setrum. Jangankan PLTA, sumber air saja su jauh, terlebih PLTU yang jelas-jelas di akan di bangun di Batang-Jateng saja masih dimenemui pro dan kontra. Untuk PLTN cukup bermimpi saja dulu.
Di balik banyaknya hujatan kepada PLN, mungkin BUMN inilah yang benar-benar mengerti Indonesia sampai sel-selnya, tak hanya organ tubuhnya saja. Untuk area pulau Jawa, listrik sudah merata hingga dusun terpencil dan tetap dilayani. Begitu juga dengan daerah-daerah luar Jawa yangs sebaran penduduknya tidak merata, tetap dilayani walau dengan penuh keterbatasan.
Menjadi pertanyaan sekarang, lantas bagaimana jika andai kata semua listrik sudah menyebar rata di Indonesia, mampukah PLN menyediakan energinya? Bukan pertanyaan itu yang harus muncul, tetapi bagaimana masyarakat memakai energi hingga ketersediaanya tetap terjaga. Saat ini masih menjadi kendala, acapkali sudah merasa memiliki dan mampu membayar maka pemakain listrik tak lagi ramah dan banyak yang terbuang sia-sia.
Sangat sederhana jika ingin mengubah mindset tentang penyadaran betapa berharganya energi listrik. Masyarakat kita kadang terlalu manja berkaitan dengan yang namanya listrik. Contoh sederhana, saat masuk dalam kafe, rumah makan, atau tempat umum yang dicari pertama adalah colokan - stop kontak demi memperpanjang setrum gawainya. Tanpa disadari tindakan main tusuk steker dalam colokan tanpa ijin, tanpa dikenakan bea sudah menjadi pembiaran yang lazin dan tidak menjadi masalah. Disinilah kadang prilaku yang secara etis kurang baik karena mengambil barang tanpa wujud tanpa permisi, akibatnya prilaku pencurian listrik skala besar bukan yang aneh lagi.
Paling penting adalah edukasi pada masyarakat betapa berharganya energi yang bernama listrik. Untuk membangkitkan energi ini butuh beaya yang besar, dan investasi yang tidak sedikit. Sangat disayangkan jika pelangganya hanya main suntik kabel diatas meteran listrik, bahkan lebih parah lagi memotong kabel lalu ditimbang untuk dijual.
Pemberlakuan listrik dengan sistem pulsa jelas menjadi salah satu cara agar masyarakat bisa menakar kebutuhan penggunaan energi. Saya masih teringat saat daya listrik di rumah saya masih 450 watt, dimana menonton TV yang masih hitam putih kadang harus bergantian dengan nenek yang sedang menyetrika. Energi yang terbatas membuat kami harus bisa membatasi penggunaanya agar tidak lagi gelap gulita. Berbeda dengan listrik pra bayar, selama masih ada uang maka energi bisa dibeli dan sesuka hati memakai. Listrik prabayar tentunya lebih baik daripada yang pasca bayar, dengan sisi lebih dan kurangnya.
[caption caption="Masyarakat Lokal NTT menggunakan PLTS yang terbatas ketersediaan energinya, sehingga harus benar-benar hemat dalam memakai."]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H