[caption caption="Kondisi hutan yang terbakar di Kalimantan Tengah beberapa bulan yang lalu (dok.pri)."][/caption]Ibu Pertiwi
Kulihat ibu pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matamu berlinang
Mas intanmu terkenang
Hutan gunung sawah lautan
Simpanan kekayaan
Kini ibu sedang susah
Merintih dan berdoa
Kulihat ibu pertiwi
Kami datang berbakti
Lihatlah putra-putrimu
Menggembirakan ibu
Ibu kami tetap cinta
Putramu yang setia
Menjaga harta pusaka
Untuk nusa dan bangsa
Berkali-kali saya memutar dan mendengarkan lagu ciptaan Ismail Marzuki - merinding, ada rasa duka yang mendalam. Bersamaan dengan peringatan Hari Bumi, lagu Ibu Pertiwi menjadi sebuah permenungan. Meskipun lagu tersebut hanya lagu anak-anak yang diajarkan dan dinyanyikan di bangku SD, setidaknya sudah bisa membekali generasi muda ini untuk menjaga ibu pertiwi.
Masih ingat beberapa waktu yang lalu, orang-orang pada heboh dengan baskom berisi air yang dijemur di pelataran berharap bisa menciptakan hujan. Langkah sederhana betapa anak bangsa ini mencintai ibu pertiwi, walaupun di luar nalar dan akal sehat. Tindakan yang menjadi cemoohan di media sosial, walaupun kaum haters juga tidak berbuat apa-apa.
Kisah jerebu, yakni kebakaran hutan yang masif di Kalimantan dan Sumatera ikut menggemparkan dunia. Setidaknya negara tetangga seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura ikut menikmati dampak kebakaran hutan walau hanya menghirup asapnya. Mereka yang benar-benar di lokasi kebakaran tak hanya asap, tetapi banyak hal yang dirugikan. Hanya segelintir orang yang bisa menikmati bencana ini, selebihnya hanya pesta pora para korporasi dan kaum kapitalis yang sengaja membakar untuk membuka lahan.
Ke mana jerebu dan asap-asap kemarin yang menjadi bahan makian banyak orang? Sudah hilang seiring pergantian musim, yakni musim hujan dan musim tanam. Tunggu beberapa waktu lagi saat menjelang musim kemaru, bersiaplah napas menjadi parau saat titik-titik api bermunculan. Semua akan kembali teriak, kembali pemerintah kadang menjadi kambing hitam yang membuat presiden sampai gusar hingga turun ke lapangan.
Haloo... kata sinis menanyakan, selama orang-orang bagaimana yang selama ini menikmati layanan ekologi yang diberikan gratis. Sebelum waktunya tiba, mana kala ibu pertiwi kembali lara ada baiknya kita menjaga. Bencana sudah berlalu, maka ada baiknya kita jangan terlena.
Sebuah anekdot lucu, andaikata pohon itu menghasilkan sinyal WIFI gratis, orang-orang beramai-ramai akan menanam pohon. Padahal jelas-jelas pohon bisa menghasikan oksigen gratis sebagai penyokong utama kehidupan, tetapi banyak yang lupa dan memilih wifi. Betapa fungsi ekologi saat ini sudah kalah oleh fungsi teknologi. Beberapa orang lupa, dia hidup di mana, makan dari mana, dan menghirup udara dari mana.