[caption id="attachment_370504" align="alignnone" width="640" caption="Pemandangan dari B29. Dari sini bisa melihat gunung Batok dan Bromo yang mengepulkan asapnya.(dok.pri)."][/caption]
Subur Budaya masih saja berdebat dengan rekan-rekannya sesama utang ojek. Mereka tetap kekeh dengan argumennya masing-masing soal penamaan B-29. Memang tidak ada habisnya mereka berdebat, namun dari cerita mereka saya bisa mendapatkan beberapa informasi mengenai istana di atas awan di kabupaten Lumajang Jawa timur. Nama yang unik karena hanya sebuah huruf konsonan dan 2 angka. kini B29 menjadi tujuan para pelancong dari seluruh penjuru Jawa Timur, setelah namanya terangkat pada awal 2014.
B29 adalah sebuah lokasi di igir-igir kaldera yang mengelilingi Gunung Bromo. Lokasi terletak di Desa Argosari, Kecamatan Sendur, Kab. Lumajang-Jawa Timur yang kini menjadi primadona wisata alam kabuten tersebut. B29 kini semakin melambung namanya dan sebentar lagi mungkin akan setara dengan Penanjakan Bromo di Probolinggo. Dari tempat ini lansekapnya begitu sempurna untuk menyapu pemadangan ke semua penjuru mata angin. Di Sisi barat daya nampak puncak semeru begitu jelas dengan kepulan solfatara, begitu juga di sebelah barat laut ada gunung arjuna Welirang dan di sisi timur gunung Argopuro.
[caption id="attachment_370505" align="alignnone" width="640" caption="Bagian dalam Sanggar Purwa Wisasa yang digunakan umat Hindu untuk beribadah. Di dalam bangunan tersebut terdapat patung yang disuscikan, sehingga tidak sembarang orang bisa melihat (dok.pri)."]
Kami berangkat dari Desa Argosari 2.000 mdpl yang bisa ditempuh sekitar 1,5-2 jam dari Lumajang dengan lewat pasar Senduro. dari Desa terakhir ini kami melangkat terlebih dahulu di sebuah bukit di sebelah barat. Jalanan berbabtu yang sudah di susun membantu kami melewati lereng yang cukup curam yang digunakan sebagai lahan pertanian. Tujuan kami adalah sebuah tempat yang disakralkan oleh penduduk setempat terlebih adalah umat Hindu.
Sepasang gupala dengan sebuah gada di tangan menghadang kedatangan kami. Di sisi kanan kiri nampak patung dewa Shiwa dan Indra. Di ketinggian 2400mdpl terdapat sebuah tempat peribadatan umat Hindu yang di beri nama Sanggar Giri Wisesa. Tempat ini biasanya dipakai untuk upacara unan-unan yang dilaksanakan 5 tahun sekali oleh umat hindu. Tempat ini mulai dibangun awal tahun 2.000an kata pak Edi yang menemani perjalanan kami dan kini masih dalam tahan renovasi. Beberapa karyawan nampak sedang membangun dinding pagar dengan berbagai hiasan ornamen.
Dalam obrolan dengan para pekerja, rekan kami sempat menyeletuk "tempat ini sangat tenang, damai dan rukun, saya kira ormas-ormas yang yang biasa bertikai harus belajar di sini". Di Argosari yang mayoritas beragama Hindu tidak ada masalah manakala ada sebuah Masjid berdiri di sekitarnya, malah masjid tersebut dinobatkan yang tertinggi di Indonesia karena berada di ketinggian hampir 2500mdpl. kaum mayoritas dan minoritas hidup berdampingan dan nyaris tidak pernah ada gesekan. Saya benar-benar larut dalam keharmonisan ditengah keberagaman ini.
[caption id="attachment_370506" align="alignnone" width="640" caption="Menuju B29 saya harus menumpang ojek dengan jalan yang cukup mengerikan. Nampak debu yang tebal manakala ada sepeda motor yang melintas (dok.pri)."]
Tak lama kami harus kembali untuk persiapan menuju B29. Tidak ada angkutan menuju puncak dari igir-igir kaldera, kecuali ojek atau berjalan kaki. Barang bawaan kami yang cukup banyak, sehingga kami memutuskan untuk naik ojek. Bukan ojek sembarangan yang kami naiki, tetapi lebih mengerikan dari rally paris dakar. Lewat jalan yang hanya bisa di lewati motor, saat sisi kanan adalah pematang jalan maka sisi kiri adalah jurang, begitupula sebaliknya. Jangan berharap mendapat jalan yang mulus, sebab aspal hanya sekitar 1Km saja, sedangkan yang 3-4km adalah jalan dari tanah dengan debut sebetal mata kaki.
Saat ada yang berpapasan atau menyalip, bersiap-siap untuk mandi debu. Mata yang pedih dan nafas yang sesak benar-benar siksaan selama hampir 40menit perjalanan. Pemandangan yang kami lalui benar-benar indah karena kami mendaki bukit setinggi 600m. Awan nampak berarak dibawah kaki kami saat mata ini melepas pandangan jauh di bawah. Lereng-lereng curam menjadi momok yang mengerikan, namun petani nampak tenang-tenang saja saat kaki mereka berpijak pada bidang miring tersebut. Ojek yang saya naiki terus saja meraung-raung dan beberapa kali harus berhenti karena mesin mati.
Subur Budaya nama tukang ojek yang saya tumpang terus saja mengingatkan saya agar berpegangan yang erat karena kawatir saya terlempar. Di jalan yang mengerikan ini sempat-sempatnya dia bercanda "mas motor ini remnya ada 5, jadi tenang saja, rem yang pertama rem belakang, rem yang kedua rem depan, rem yang ke tiga di kaki, rem yang ke empat di pematang dan rem yang ke lima siap-siap loncat". Sontak pundaknya saya pukul pelan, karena bukannya membuat saya tenang tetapi panik.