7 tahun ini saya belajar tentang etnobotani, dan salah satu pokok kajiannya adalah ketahanan dan kemandirian pangan di suatu daerah. Sangat menarik saat diterjunkan di sebuah lokasi yang selalu saja terpencil dan terisolir, dan memang itu tujuan penelitiannya.
Baru-baru ini, ada beritan tentang program makan bergizi gratis dengan memanfaatkan potensi lokalnya. Serangga, salah satunya yang dimuculkan. Alhasil beragam respon dari netizen di media sosial dengan pro kontranya. Bahkan sebelumnya ada anak membawa bekal menu sekolah dengan ulat sagu yang juga heboh.
Saya yang selalu semangat keliling pelosok-pelosok Nusantara, menjadi biasa saja dengan apa yang terjadi. Makan serangga, ulat sagu, atau makanan yang lain, bahkan juga sudah merasakan.
Masa kecil di lokasi transmigrasi, ayah saya mengajari saya mencari makanana. Ulat sagu atau larva kumbang, dapat dengan mudah kami temukan di kayu-kayu yang lapuk. Kami ambil dan goreng, termasuk kepompong ulat pisang. Bekicot, malah diajari ternaknya juga. Apa yang hidup di air, hampir semua bisa dimakan. Seranga, walang atau belalang, gareng, laron, itu makanan yang gurih dan bergizi, kalau tidak kuat bisa biduran (alergi gatal di kulit).
Di Bukit Bulan, pedalaman Jambi, anak-anak biasa berburu tekuyung atau moluska air tawar. Keong kecil yang ujung cangkang panjang dan lancip. Mereka cari di sungai, lalu di rebus. Cara makannya dengan memotong uperkulum atau ujung cangkang lalu menyesapnya dari lubang cangkang. Lezat dan saya juga menikmatinya.
Di Enggano, pualu terluar di Barat Bengkulu anak-anak biasa cari udang di kali, dan kalau beruntung ketemu sidat. Nikmat luar biasa makan udang kali, kalau tidak tahan juga biduran. Ditambah dengan melinjo bakar, makin sedap saja.
Di lereng Merbabu saya diajak anak-anak berburu gono, anak lebah. Larva dan calon lebah muda dipanen, lalu digoreng. Rasanya asin dan gurih. Satu lagi, mereka ajari saya "nyalung" atau berburu laron. Serangga penjelajah dari koloni rayap ini pada saat hujan keluar, dan jadi santapan yang lezat, bikin biduren juga.
Di Sumba, surganya belalang, karena pada musim tertentu ada ledakan populasi belalang membuat angkasa penuh dengan serangga. Mau berburu berapa banyak, alam menyediakan. Sama halnya di Gunung Kidul, Yogyakarta yang khas dengan belalang goreng. Protein tinggi tentu saja.
Di Tepi Danau Sentani, Papua saya diajak anak-anak berburu ulat sagu dan tambelo atau tamilok (cacing kayu). Dua buruan ini favorit anak-anak disana untuk mencari lauk pauk, di Wamena ada udang selingkuh atau lobster air tawar. Di Raja Ampat anak-anak cari kerang dan tiram di dalam pasir pantai. Banyak sekali makanan yang mudah ditemukan.
Anak SD di daerah sudah mahir mencari makanan, dam saya banyak belajar dari mereka. Makanan yang bikin alergi, artinya proteinnya sangat tinggi dan kadang asing bagi tubuh.