Di Jepang ada seorang anak yang selamat dari banjir gegara dia bisa uitemate. Dia mengapung berjam-jam di air dan tetap tenang hingga akhirnya berhasil diselamatkan. Uitemate adalah mengapung dipermukaan air sembari tiduran dan itu sudah diajarkan sejak dini di sana.
Tragedi Pilu di Waduk Kedong Ombo yang menewaskan 9 wisatawan menjadi potret buruk pengelolaan wisata air. Di sini saya tidak ingin mencari kambing hitam siapa yang salah, namun tafakur bagaimana agar tidak terulang kembali.
Melihat data korban, adalah ibu-ibu dan anak-anak. Menjadi pelajaran adalah apakah mereka bisa berenang? Kalaupun bisa berenang, mengapa mereka bisa tenggelam dan menjadi korban.
Mungkin wajar, jika seseorang tenggelam gegara tidak bisa berenang. Namun ada juga yang bisa berenang dan tenggelam. Sangat miris sekali, air bisa menjadi tempat yang mengerikan, padahal seharusnya mengasyikan.
Saya teringat cerita tentang 2 mahasiswa saya yang tenggelam di air terjun. Niat baik menolong temannya yang tenggelam, malah ikut ditenggelamkan dan tewas bersama.
Orang yang panik di air (entah bisa berenang atau tidak) akan cenderung mencari pegangan apa saja agar kepalanya tetap di permukaan dan bisa bernafas. Celakannya jika yang dipegang itu adalah orang yang menolong. Mereka berdua akan saling meronta, lemas, dan akhirnya tenggelam bersama.
Cerita yang kedua saat di Karimunjawa. Ada seorang balita yang lepas dari pengawasan orang tuanya, sehingga dia tercebur di kolam penangkaran hiu.Â
Saya teringat persis di depan mata saya, jika teman saya yang tidak berenang refleks menceburkan diri ke kolam untuk menolong anak tersebut. Untung saja kolamnya dangkal, selamatlah mereka berdua.
Tidak berbeda jauh dengan teman saya yang berusaha menyelamatkan pacarnya yang sengaja di lempar ke kolam renang sedalam 2 meter. Yang melempar ini tidak tahu jika yang dilempar tidak bisa berenang.Â
Melihat hal tersebut, pacarnya spontan turun untuk menolong, padahal tidak bisa berenang juga. Akhirnya bisa saya tolong satu persatu, meski sudah pada mau kehabisan nafas.
Cerita yang ketiga adalah saya menemani teman free dive atau menyelam bebas. Kita sama-sama menyelam tanpa bantuan tabung oksigen, yakni cukup 1 tarikan nafas. Teman saya yang menyelam di bawah saya mengalami black out atau pingsan. Saya melihat dia sudah tenggelam, di mana mulut dan mata sudah terbuka.
Cara menolongnya, saya menyelamatkan diri dulu ke atas. Berpikir sejenak, ambil nafas panjang dan turun lalu mangangkat badannya ke permukaan. Dengan modal pelatihan penyelamatan bawah air, saya bisa menyelamatkan nyawa teman saya tersebut.
Dari beberapa kejadian di atas, betapa berenang itu sangat penting dan pokok sebagai bekal diri. Tidak usah berpikir renang dengan gaya yang baik dan benar layaknya atlet renang. Mereka dicetak untuk adu cepat, tetapi dalam hal ini dicetak agar bisa menguasai diri dalam air, mengapung, dan bisa menyelamatkan diri juga orang lain.
Dalam beberapa kesempatan di klub selam saya, selalu diajarkan hal yang paling mendasar yakni renang survival. Pelajaran bagaimana bertahan hidup di air. Pelajaran selanjutnya baru belajar menyelamatkan orang lain yang mengalami musibah di air.Â
Musibah tidak selalu tenggelam, bisa saja kram, bisa terkena serangan binatang liar, hipotermia, dan lain sebagainya.
Di Jepang, pelajaran ini sudah menjadi kurikulum. Masyarakat Jepang sadar akan potensi bencana dan mereka melatih masyarakatnya untuk mitigasi dan wajib bisa berenang.
Tidak susah mengajarkan anak-anak untuk berenang. Tubuh mereka masih elastis untuk dilatih dan mental mereka masih mudah dibentuk. Tidak usah berpikir mereka renang model gaya anjing, kupu-kupu atau lele yang penting mereka bisa terlebih dahulu. Kalau mau jadi atlet atau menyempurnakan gerakan, baru dilatih ulang.
Pelajaran bagi kita semua... damai di sana sodaraku...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H